Pages

Pemberitahuan

Update dan postingan baru dari blog ini bisa anda temukan di Accounting-Financial-Tax.com. Di situs yang baru ini makin banyak topik di bahas, berbagai accounting standard, concept dan contoh kasus yang bervariasi. Dengn ciri khas yang sama: detail, mendalam, dan practical. Diupdate setiap hari, termasuk perkembangan terkini dari international accounting standard [IAS], International Financial Reporting Standard [IFRS], GAAP Codification [ASC], Auditing Standard, dll. Dan, semuanya disajikan dengan interface yang lebih user friendly, clear navigation yang mengkaitkan antara satu topic dengan topic lain, dengan tingkat accuracy yang selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.

"Accounting theories and concept" adalah penting, akan tetapi apalah artinya concept dan theory jika tidak diwujudkan dalam tingkatan implementasi.

Per 2011, saya juga aktif menulis di JurnalAkuntansiKeuangan.com yang di launch baru-baru ini, meskipun tak cukup sering.

Google
 
Showing posts with label Cost. Show all posts
Showing posts with label Cost. Show all posts

Jun 4, 2008

Repair Atau Beli Baru? - Controlling

Mengambil keputusan untuk untuk repair atau beli baru sungguh sering kita hadapi. Bagaimana mengambil keputusan yang tepat in term dengan Controlling? Let’s talk about this now. Sekalian untuk membahas soal yang saya jadikan quiz di “Spreadsheet Cash Flow Statement” kemarin.

Tidak di rumah tidak di kantor kita sangat sering dihadapkan dengan pilihan itu. Gampang-gampang susah.

Ketika notebook atau desktop top kita rumah mulai rewel, kita harus mengambil keputsan apakah perbaiki saja atau beli baru sekalian. Apabila itu untuk keputusan untuk barang yang nilainya relatif kecil, mungkin dengan mudah kita bisa mengambil keputusan (beli baru saja, daripada repot). Begitu juga jika barang itu tidak terlalu kita butuhkan, maka dengan mudah juga kita bisa memutuskan untuk tidak usah membeli dan tidak usah repair.

Di kantor, meskipun itu bukan harta pribadi kita, sebagai orang accounting tidak jarang dilibatkan untuk urusan seperti itu. Terlebih-lebih jika anda seorang decision maker di bagian Accounting & Finance. Anda dituntut bisa mengambil keputusan yang tepat.

Mengapa di quiz saya memakai mesin photo copy sebagai contoh? Karena memang mesin photocopy kedudukannya di kantor termasuk unique:

[-]. Nilainya tergolong material.
Tidak diragukan lagi, mesin photocopy tidak lah murah. Dan keputusan belanja untuk barang yang nailianya material memang tidak mudah (tidak boleh sembarang beli).

[-]. Disisi lain, fungsi nya hanya sebagai pendukung kelancaran operasional perusahaan. Sangat berbeda dengan mesin atau peralatan produksi (yang berfungsi sebagai mesin/pelaralatan utama penghasil product/jasa).

[-]. Disi lainnya lagi, bagi perusahaan yang skalanya menengah atau besar (dengan tingkat aktifitas admin yang tinggi) akan sangat terganggu jika harus tanpa mesin photocopy, apalagi jika selama ini sudah biasa menggunakan inhouse copier machine. Sehari saja mesin photocopy mogok, dijamin kantor pasti sudah gaduh, banyak complain. Bahkan mogoknya mesin photo copy bisa dijadikan alasan atas keterlambatan suatu proses tertentu.

Terlambat antisipasi bisa menimbulkan masalah yang serius. Bagi rekan-rekan diluar bagian accounting dan keuangan, tentu tidak mau tahu ”pokoknya saya tidak mau terhambat gara-gara mesin photocopy mogok, itu konyol!”.

Memang konyol. Itulah sebabnya sering-sering saya katakan; kita sebagai orang accounting dan keuangan tidak cukup hanya bisa mennghitung dan menjurnal saja. Tidak cukup hanya bisa membuat buku menjadi balance saja. Perlu meningkatkan kemampuan dalam analytical roles, dan yang tak kalah pentingnya adalah menempa dan mengasah diri untuk terampil dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai S1 akuntansi kita diragukan.

Di sinilah kompetensi dan capability kita sebagai orang accounting dan keuangan diuji.

Dari jawaban quiz yang disampaikan, saya bisa melihat teman-teman disini sudah tahu musti bagaimana kalau menghadapi kasus serupa itu.

Tetapi saya merasa perlu untuk menyajikannya dalam bentuk get—it—done:

Apa perlu melihat nilai bukunya? Tidak untuk saat ini. Nilai buku perlu dilihat nanti pada waktu mencatatnya. Sekarang kita akan mengambil keputusan repair atau beli baru.

Hal-hal yang perlu dilakukan, yaitu:

Dapatkan perbandingan estimasi perkiraan pengeluaran antara memperbaiki dengan membeli baru, dengan nilai yang sudah paling rendah yang bisa di dapat.

Ini hanya bisa dipastikan, jika telah menggunakan minimal 3 supplier berbeda.

Misalnya: Mesin baru
Dealer (Toko) A, Xerox = Rp 15,000,000,
Dealer (Toko) B, Canon = Rp 14,000,000
Delaer (Toko) C, Sharp = Rp 14,500,000

Bagaimana membandingkannya?, cukup dari harga per unit saja? Tidak. Rasanya saya sudah pernah bahas di artikel lain. Tapi in term dengan copier machine mungkin ada perlunya saya bahas lagi.

Basic-nya adalah depreciation. Tetapi hati-hati, menganalisis usage cost mesin photo copy tidak seperti menyutkan bangunan. Penyusutan mesin photo copy adalah a combination:
[-]. Ada bagian mesin yang usianya relative panjang (hampir tidak terpengaruh oleh banyaknya output yang dihasilkan), so bisa alokasikan (disusutkan) dengan metode garis lurus.
[-]. Dan ada bagian-bagian mesin yang justru sangat vital dan cepat haus (lampu blits, Top & Bottom Roller, Header) yang harganya lumayan tinggi. Bagian-bagian ini harus dialokasikan berdasarkan output yang dihasilkan, artinya umur ekonomis diukur dengan jumlah lembar photo copy yang dihasilkan.

Bagaimana caranya membagi porsi yang menggunakan gari slurus dengan production output?

Caranya mudah: pada saat meminta penawaran harga unit mesin baru, sekaligus minta penawaran spare-part lengkap dengan specifikasi dan kapaisatnya (1 part harganya berapa, mampu menghasilkan berapa lembar copy). Jumlahkan semua nilai spare-part-nya dibagi dengan kapasitas (jumlah lembar yang mampu dihasilkan). Maka sudah mendapat cost yang harus dialokasikan.

Bagaimana dengan yang disusutkan dengan metode garis lurus?

Misalnya:

Toko A, Xerox = Rp 15,000,000,
Total nilai sparepart Rp 3,500,000 (kapasitas 25,000 lembar)

Maka:

Porsi yang menggunakan metode garis lurus adalah=
Rp15,000,000-3,500,000=Rp11,500,000, umur ekonomis 5 tahun
Maka depreciation expense perbulannya adalah 1/12 (11,500,000/5) = Rp 191,667/bulan

Sedangkan spare-partnya dihitung dengan cara:
Rp 3,500,000/25,000 = Rp 140/lembar

Bagaimana menyatukan kedua metode yang berbeda tadi?

Metode garis lurus di-convert ke Unit production output, dengan cara:
Lakukan estimasi; berapa lembar kebutuhan photo copy selama satu bulan?, katakanlah 15,000 lembar.
Maka : Cost per lembarnya = Rp 191,667/15,000= Rp 13

So total usage cost per lembar untuk Xerox dari took A =Rp140+13 = Rp153/lembar
Ditambah toner usage (dihitung dengan cara yang sama seperti sparepart).

Dengan menjumlahkan semuanya, maka sudah mendapat usage cost per lembar untuk mesin xerox dari Toko A.

Lakukan hal yang sama terhadap penawaran dari toko B dan C. Dari sana akan diperoleh mesin merk apa (dari toko mana) yang usage cost per lembarnya paling rendah. Let say toko C.

Selanjutnya tinggal mencari perbandingan perkiraan pengeluaran jika mesin di repair (minimal dari 3 technician juga), perkiraan biaya untuk repair dibagi dengan kapasitas sparepar.

Barulah terakhir dibandingkan antara ”jika diperbaiki” dengan ”jika beli baru”. Jika ternyata perbaikan (repair) lebih efisien berarti sudah tidak ada masalah, tinggal di repair saja. Tetapi jika ternyata membeli baru jauh lebih effisien, maka ukur persediaan cash terlebih dahulu, jangan sampai photocopy lancar, tetapi tidak bisa beli raw material karena dana dialokasikan untuk membeli copier baru. Mudah-mudahan, jika terjadi kasus yang sama di masa-masa yaang akan datang, anda sudah bisa menganalisis-nya dengan cermat mengenai perlakuan (pencatatan dan pelaporan silahkan baca Perlakuan Akuntansi Aktiva Tetap.

Jun 3, 2008

Updated Determinasi Cost & Expense

Updated Determinasi Cost Vs Expense adalah penjelasan lebih detail untuk “Determinasi Cost & Expense – Terapan” yang memang saya buat belum detail, karena saya rancang untuk menjadi bahan pertanyaan dalam Accounting Contest-1. Sudah saya bayangkan bahwa kesimpulan pendek tersebut masih meninggalkan keraguan, bahkan mungkin kekeliruam persepi. Di posting ini saya akan jelaskan secara tuntas, sekalian membahas tentang marketing expenditure issue yang ada di Accounting Contest-1, jangan dimasukkan ke dalam hati. That is funny side of a game :-) so, no hurt feeling. Okay?


Determinasi Cost dan siklusnya

Seperti telah saya sampaikan di Determinasi Cost & Expense – Terapan, bahwa suatu expenditure (pengeluaran) disebut "Cost" apabila atas pengeluaran tersebut dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang nantinya bisa mendatangkan cash atau potensi cash kembali. Kembalinya cash bisa dalam jangka pendek (misalnya: inventory, contoh: pembelian baut oleh toko bangunan atau pembelian polo shirt oleh anda), atau dalam jangka panjang (misalnya: aktiva tetap, contoh: pembelian piano).

Common issue yang membuat pemahan tentang cost menjadi terpenggal (tidak utuh) adalah ”Siklus perubahan dari cash kembali ke cash”. Mohon dibaca baik-baik kalimat di bawah ini:

”..........untuk memperoleh sesuatu yang nantinya bisa mendatangkan cash atau potensi cash kembali

Warning!: Ini bukan persoalan main kalimat atau kata-kata, most of us from ”Economic” bukan orang-orang linguistic yang ahli dalam bermain kalimat (kata). Sengaja saya bahas kalimat ini, merely supaya jangan sampai menimbulkan salah persepi dan membingungkan, agar kita benar-benar memperoleh pemahaman yang jelas dan mantap (neither ambigous nor bias).

[a]. Untuk memperoleh sesuatu yang nantinya mendatangkan cash.

Dari kalimat ini jelas ada siklus dari cash hingga menjadi cash kembali. Siklus-nya seperti ini:



Tentu anda sudah tahu, asset itu bisa bermacam-macam: bisa piutang, persediaan, aktiva tetap atau aktiva laib-lain. So, perubahan dari asset untuk kembali lagi ke cash itu bisa memakan waktu lama (karena melalui siklus yang panjang) atau bisa jadi pendek.

Misalnya:

Anda mengeluarkan Cash (asset) Rp 100,000 untuk membeli bahan baku (inventory=asset), dari bahan baku dijadikan barang dalam proses (another asset), dari barang dalam proses kemudian dijadikan barang jadi (inventory=asset), dari barang jadi dijual ke customer menjadi piutang (another asset), dari piutang baru menjadi cash (asset). Maka pengeluaran untuk membeli bahan baku tadi adalah Cost.

atau:

Anda membayar buruh, buruh menghasilkan barang setengah jadi (inventory=asset), dan seterusnya seperti yang di atas hingga menjadi cash.

Atau siklus pendek:

Anda membeli barang jadi (inventory), kemudian anda jual kembali dan menghasilkan cash (sales term: cash on delivery).

Selanjutnya, penggalan kalimat yang kedua....................


[b].Untuk memperoleh sesuatu yang nantinya berpotensi mendatangkan cash.

Critical point (jangan sampai anda terkecoh):

Kalimat pada pint [b] di atas yang mengenadung kata “potensi” sangat jelas (potensi=expected=diharapkan) jelas mencerminakan bahwa “bisa jadi cost tidak menghasilkan cash kembali”. Pada saat itulah terjadi “LOST” atau “KERUGIAN” (dan diakui sebagai lost/kerugian). It is a lost!

Misalnya:

Anda membeli raw material, ternyata raw materialnya terbakar atau hilang, atau setelah diproses ternyata product yang dihasilkan gagal (rusak). It is another lost!

Atau:

Anda membeli barang jadi (inventory), lalu anda jual, ternyata buyer (customer) tidak mau membayar (bad debt). It is lost as well!.

How about Expense?


Determinasi Expense dan Siklusnya.

Expense apabila atas pengeluaran tersebut dipergunakan untuk memperoleh sesuatu yang tidak menghasilkan atau berpotensi menghasilkan cash kembali.

Batasan ini tidak berarti bahwa atas expense yang terjadi tidak akan menghasilkan apa-apa. Tentu saja menghasilkan sesuatu. Hanya saja hasilnya bukan asset atau cash kembali, melainkan hanya support, yaitu manfaat yang bisa memperlancar operasional perusahaan.




Critical point (don’t let this fool ya!):

Batasan inilah yang terkadang bisa stretch (deutch:molor) hingga mengaburkan, bahkan bisa menimbulkan kebingungan. Pada dasarnya, tidak ada satu pun perusahaan yang mau melakukan pengeluaran (baik yang berupa cost maupun expense) untuk sesuatu yang sama sekali tidak bermanfaat (read:manfaat ekonomis).

Misalnya:

Perusahaan membeli kertas photocopy. Ini hádala expense. Apakah kertas ini tidak memberikan manfaat?. Bukankah kertas ini nantinya akan membuat bagian penagihan bisa membuat debit note, dan dari debit note tersebut bisa menghasilkan cash?.

atau:

Perusahaan membeli kerupuk untuk perlombaan makan kerupuk pada tanggal 17-August. Ini adalah expense. Apakah itu tidak bermanfaat? Bukankah dengan adanya perayaan 17-August bisa menimbulkan keakraban pegawai, bisa memupuk kerjasama, membentuk a solid teamwork, dan akhirnya bisa meningkatkan produktifitas perusahaan, sehingga keuntungan meningkat?

Jawabannya adalahYes, they are all great support for the company!” but….

Artinya, semua itu memang memberi manfaat bagi kelancaran dan kelangsungan usaha, akan tetapi manfaat yang dihasilkan “TIDAK MEMPENGARUHI ATAU DIPENGARUHI OLEH OUTPUT PRODUCT/JASA PERUSAHAAN MAUPUN REVENUE PERUSAHAAN“. Itulah batasan manfaat atas suatu expense.

Seperti contoh di atas, pembelian kertas photo copy atau pembelian kerupuk untuk lomba 17-august, meskipun memberi manfaat akan tetapi samasekali tidak berpengaruh terhadap dan juga tidak mempengaruhi output product atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan.

So, how about the "young-professional marketer-lady"?


Jawaban Accounting Contest-1

Dari penjelasan saya di atas, apakah anda masih memerlukan jawabannya?

Anyway, jawabannya:

Jika professional marketer dibayar berdasarkan target revenue atau sales (monthly/quarterly/annual revenue), maka pengeluaran untuk pembayaran kepadanya adalah "COST" otherwise it is "EXPENSE".

Mengapa?

Karena jika besarnya pembayaran diukur berdasarkan TARGET REVENUE/SALES atau by COMISSION , maka expenditure tersebut akan dipengaruhi oleh total revenue (sales) yang dihasilkan. Dan atas pengeluara tersebut jelas berpengaruh terhadap revenue (which could be account payable or cash) kembali yang akan diterima perusahaan.

Misalnya:

Professional Marketer akan dibayar Rp 1000,- jika berhasil menghasilkan revenue Rp 1,000,000 s/d 5,000,000. akan dibayar Rp 2,000,000 jika menghasilkan revenue di atas Rp 5,000,000.

atau:

Professional Marketer menerima komisi 5% untuk setiap sales yang dihasilkan.

Bagimana jika sebuah kombinasi?

Misalnya:

Diberikan Gaji Pokok Rp 500/bulan dan 5% comission per sales.

Maka yang Rp 500 adalah expense, sedangkan yang 5% x sales adalah "Cost of sales"

Mungkin anda ingin mengatakan: “Waktu saya kuliah dosen mengatakan bahwa: Expense (biaya operasional) adalah pengeluaran yang mau tidak mau harus dikeluarkan oleh perusahaan guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan, apakah batasan itu boleh dipakai?"

Boleh juga, hanya saja masih ada kelemahannya.

Apakah pak putra bisa menyebutkan kelemahan batasan itu?

Okay, saya beri satu contoh:

Biaya kertas, bukankah itu expense?, bagaimana jika mulai hari ini saya tidak mengijinkan anda memakai kertas lagi?, sebagai gantinya, semua document harus di simpan dalam softcopy (digital), discan, dan lain-lain. So, mulai hari ini tidak ada kertas di kantor. Dan perkiraan biaya kertas saya hapus! Apakah operasional perusahaan menjadi tidak lancar? (Atau malah lebih lancar dan lebih effisien? :-P)

Mau contoh lain lagi?

Biaya listrik, bukankah itu expense?, bagaimana jika mulai hari ini kita pakai genset, tidak pakai listrik lagi. Apakah tanpa biaya listrik perusahaan akan berhenti beroperasi?.

Jika jawaban anda semuanya: ”tidak”, maka saya mau bertanya, apakah ”pengeluaran wajib/tidak wajib” masih relevan untuk dijadikan batasan untuk mendeterminasi cost dan expense?

May 29, 2008

DETERMINASI COST & EXPENSE - Terapan

Posting ini akan membahas bagaimana mendeterminasi COST Vs EXPENSE, anda juga bisa mendapat sebuah free tool, yaitu: EFFECIENCY CALCULATOR melalui sebuah contest terkait dengan topic ini. Yang akan saya bicarakan bukanlah mengenai penggunaan istilah "cost" atau "kos" atau "biaya" atau "beban". Itu sudah dibahas oleh senior kita Pak Suwarjono. Saya tidak bermaksud menyaingi beliau. Saya yakin anda juga sudah membacanya.

Yang akan saya bahas adalah sisi penerapannya, yaitu: Bagaimana mendeterminasi (menentukan) apakah suatu pengeluaran termasuk "Cost" atau "Expense" (bahasa international), regardless apakah dalam bahasa ibu kita disebut "kos" atau "Kos-kos-an", "Akuntansi Biaya" atau "Akuntansi Biayakan" (bahasa jawa ala Pak Suwarjono). Beyond pro's-con's tersebut.

Ini juga bukan sebuah "kajian empiric" yang biasanya memakai judul "Blah Blah Blah... at a Glance", itulah sebabnya mengapa saya tidak memakai judul "Cost and Expense Determination at a Glance". Itu terlalu sakral buat saya. Yang ringan-ringan dan santai saja (kalau bisa sesederhana mungkin, mudah dipahami tapi bisa di aplikasikan secara nyata).

Di blog ini anda banyak menjumpai penggunaan istilah asing. Mungkin bagi sebagian orang itu "sok keren" atau "kurang nasionalis", boleh-boleh saja dipandang begitu. Yang penting maksud saya bukanlah demikian. Tetapi jujur saja, saya merasa lebih nyaman memakainya. Bagi rekan-rekan yang terkadang malah menjadi sulit memahami karena istilah-istilah asing yang dipakai, saya mohon maaf, dan saya yakin jika dibiasakan akan menjadi biasa.

Benar yang dikatakan oleh Pak Suwarjono, alih bahasa (translation) bahasa akuntansi yang aslinya memang tidak berasal dari rumpun melayu, kemudian ditranslasikan menjadi bahasa melayu, menimbulkan kerancuan yang lumayan serius. Akibatnya, pembelajaran akuntansi menjadi sesuatu yang sulit, hanya karena pemaparan yang bahasanya sangat tingkat tinggi, sangat ilmiah. Saya pribadi (maaf) tidak setuju jika pemahaman di kebelakangkan hanya untuk menjaga supaya literature-literature, karya-karya ilmiah, jurnal-jurnal akuntansi tidak "kehilangan pamor (=wibawa?) hanya gara-gara tidak menggunakan gaya bahasa, dan gaya pembahasan karya ilmiah yang baku. Hmmm... buat saya itu "pemikiran konservative" yang rada-rada (maaf) "naif". Come on, we've been on "21th" century now, it is "Lean Accounting Era now"!. Maaf jika ada yang insulted. I don't meant it.

Cukup mengenai penggunaan bahasa akuntansi, that is not our main focus here.

Dari jawaban quiz untuk mendapatkan "Spreadsheet Cash Flow-Free" yang sudah berlangsung kemaren (sekarang soalnya sudah saya ganti), kita sudah melihat pemikiran tentang cost vs expense ternyata beraneka ragam. Lain orang lain pengertian (pemahaman-nya). Padahal mendeterminasi cost dan expense hampir kita lakukan setiap menit di accounting (itu artinya critical). Terdorong oleh hal tersebutlah maka saya membahas topic ini.

Okay, kita langsung ke persoalan: Bagaimana mendeterminasi "Cost" dan "Expense". Agar mudah dipahami, saya akan memakai gambar-gambar dan bagan sederhana, mudah-mudahan bisa mempermudah.


Gambar dan Bagan-1:
Apa ini?, yupz benar ini adalah baut (bolt), sekarang coba analyze: apakah pengeluaran untuk memperoleh benda ini termasuk cost atau expense? Mungkin ada yang spontan menjawab "expense!" mungkin ada yang bilang "belum tentu..." sambil mengerutkan dahi. Belum tentu bagaimana? "tergantung", tergantung bagaimana?.... hmmm mikir dahulu pastinya :-) saya juga begitu. Tetapi coba kita lihat bagan dibawah ini:



Penjelasan Bagan-1 (di atas):

Bagi toko bangunan expenditure (pengeluaran) untuk memperoleh baut-baut tersebut dari pabrik baut adalah "Cost", tetapi bagi anda (atau siapa saja) yang membeli baut di toko bangunan untuk mengencangkan roda sepeda mini si kecil dirumah, pengeluaran tersebut adalah "expense".

Kesimpulan apa yang bisa ditarik disini? Dari gamabar dan bagan-1 di atas, ada kesan bahwa; bagi toko bangunan itu disebut cost karena belinya dalam jumlah banyak (bulk quantity), uang yang dikeluarkan (disbursed) pun pastinya banyak, sedangkan bagi anda itu adalah expense karena anda membeli baut hanya 2 biji dan bayarnya pakai uang kepeng (read:sedikit). Ada kesan seolah-olah "materiality" adalah penentu apakah suatu expenditure (pengeluaran) tergolong cost atau expense. Apakah benar demikian?. Mari kita lihat gambar dan bagan berikutnya...............


Bagan dan Gambar-2:

Yup, anda tidak salah; ini adalah gambar sebuah Polo-shirt dan tank top. Anda membeli 2 potong pakian (Polo Shirt dan Tank Top) dari sebuah toko sport clothes, sekali lagi, jumlahnya hanya 2 pieces. Bayarnyapun tidak banyak. Akan tetapi ternyata anda menjual 2 potong pakian tersebut kepada rekan atau tetangga anda, karena anda memang melayani jual-beli pakian secara eceran di komplek perumahan dimana anda tinggal. So, buat anda pengeluaran untuk memperoleh pakian tersebut dari toko adalah "Cost", sedangkan bagi teman (tetangga) anda yang membeli pakaian polo-shirt itu untuk main golf besok adalah "expense".


Dari bagan-2 di atas, ada kesan seolah-olah cost atau expense tersebut ukurannya adalah inventory (persediaan barang jadi atau raw material), bila itu barang persediaan untuk dijual kembali maka itu cost, jika tidak maka itu expense. Apakah benar begitu? mari kita lanjutkan ke gambar dan bagan berikutnya.........


Gambar dan bagan-3:

Ini adalah tuts piano (untuk mewakili gambar piano. Bagi seorang "Professional Piano Perforamer" yang biasa tampil di concenert-concert (commercial events), pengeluaran untuk membeli piano adalah "Cost", sedangkan bagi gadis cilik yang dibawahnya, yang main piano hanya untuk main di rumah saja, pengeluaran untuk membeli piano adalah "Expense".



Kesimpulan

Dari ketiga bagan di atas saya berharap anda sudah mendapat kesimpulan yang mendekati sempurna. Apa kesimpulannya?

[1]. Suatu expenditure (pengeluaran) disebut "Cost" apabila atas pengeluaran tersebut dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang nantinya bisa mendatangkan cash atau potensi cash kembali. Kembalinya cash bisa dalam jangka pendek (misalnya: inventory, contoh: pembelian baut oleh toko bangunan atau pembelian polo shirt oleh anda), atau dalam jangka panjang (misalnya: aktiva tetap, contoh: pembelian piano). Terlepas apakah itu bulk purchase atau tidak, apakah itu inventory atau bukan, apakah itu langsung dibebankan ke Cost of Goods Sold atau dialokasikan melalui Penyusutan (depreciation) atau amortisasi.

[2]. Suatu expenditure (pengaluaran) disebut "Expense" apabila kebalikan dari yang diatas, artinya pengeluaran tersebut dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang tidak berpotensi menghasilkan cash kembali (alias keluar begitu saja, pergi selamanya tanpa pesan :P ).

Sesederhana itu? Ya, it's not a high rocket science.... :)

Accounting Contest-1

From now on, tentu anda sudah bisa mendeterminasi Cost dan Expense dengan mudah, tidak akan pernah ragu/bimbang lagi, bukan?

Jika iya, sekarang saya tantang anda; masih mendeterminasi "Cost" atau "Expense".

Apa tantangannya? CONTEST!, ya.. Accounting Contest.

Aturan contest
Contest artinya, anda dan rekan-rekan yang lain (siapa saja) bersaing untuk memenangkan contest dengan melakukan tantangan yang akan saya berikan. Tantangannya sederhana saja, yaitu menjawab sebuah pertanyaan dan memberikan penjelasan (atau analisa) yang sebagus mungkin. Jawaban saya tunggu hingga hari senen (1-Jun-2008, pukul 13:00 WIB).

Saya akan memilih 15 contestant yang akan memberikan jawaban terbaik. Hasil penilian saya umumkan pukul 15:00 WIB di hari penutupan.

Hadiah Contest

Pemenangnya akan memperoleh; "EFFICIENCY CALCULATOR"

"Efficiency Calculator" adalah spreadsheet yang saya rancang khusus untuk menghitung effisiensi atas suatu pengeluaran (pengeluaran apapun itu), akan sangat membantu dalam menghitung effisiensi (pengiritan) yang telah/akan anda lakukan. Baik itu untuk pengeluaran pribadi maupun pengeluaran perusahaan.

Contoh pengukuran effsiensi pengeluaran pribadi:

Anda menyukai (naksir) 2 orang gadis, yang sama-sama cantik, dan pintar. Let's say yang satu namanya "Jenny" yang satunya lagi namanya "Melinda". Anda bingung menentukan mana calon terbaik buat bakal istri. Sebagai orang accounting, mungkin (sekali lagi mungkin), effsiensi adalah criteria utama dalam melakukan penilaian. Jenny suka makan Breadtalk™ yang menghabiskan rata-rata Rp 150,000/minggu, sedangkan Melinda suka makan sushi yang menghabiskan rata-rata Rp 200,000/minggu. Hmmm effisiensi-nya hanya Rp 50,000/minggu. Not significant, am I right?. Nah jika anda menikah dengan Jenny di usia 28 tahun, kemudian anda merencanakan pensiun di usia 60 tahun, berapa effisiensi-nya jika anda menikah dengan jenny dibandingkan jika anda menikah dengan Melinda? Calculator ini akan membantu menghitungkannya untuk anda dalam beberapa detik saja!, SUDAH MEMPERHITUNGKAN "NET PRESENT VALUE" DAN "NET FUTURE VALUE" UANG! Bisa anda bayangkan seberapa powerful calculator ini untuk mengukur effisiensi atas pengeluaran tertentu di kantor.

Bukan hanya itu, pemenang juga akan langsung saya ikutkan (tanpa seleksi awal) di contest putaran berikutnya, untuk memenangkan sebuah grand price, yaitu sebuah "FLASHDISK 1 GIGABYTE", berisi freeware-freeware yang berguna untuk keperluan kantor maupun pribadi anda, bukan CD, tetapi "flashdisk 1 gigabyte berisi freeware!", sehingga bisa anda hapus dan isi lagi sesuai keperluan anda. Contest putaran berikutnya akan disponsori oleh perusahaan tertentu yang sudah confirm untuk memberikan sponsor.
Wah, saya pikir grand price-nya Mobil Mercy Compressor.... yah cuma flashdik 1GB.....
Memangnya ini Bank/Perusahaan Tbk? heheheeheh... ini cuma for fun, yet, sekalian sambil belajar kan?.

Tantangan Accounting Contest-1


Perhatikan gambar di atas:

Ada young lady, dia adalah seorang professional marketer.

Pertanyaan-nya: Jika dia bekerja untuk perusahaan anda, atas pengeluaran yang akan dibayarkan untuk dia, apakah anda akan akui sebagai cost atau expense? jelaskan mengapa!.

Tulis jawaban dengan analisa (penjelasan sebaik mungkin menurut anda) di komentar, dan jangan lupa sertakan email address anda.

Ingat, Accounting Contest-1 saya buka mulai posting ini dipublish, dan ditutup pada hari senen 01 June 2008 pukul 13:00 WIB.

Happy Contest!

May 12, 2008

Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) berkaitan dengan perpajakan. Apa saja? Kita bahas di artikel ini dengan cepat dan singkat (tetapi tanpa meninggalkan substansinya).

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait dengan perpajakan, yaitu:

[-]. Raw Material/Inventory Purchase

Pembelian raw material maupun barang jadi disertai oleh PPN.

Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan menerima bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak Ditjend Bea Cukai (DJBC).

Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan menerima bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu adalah PPN keluaran).

Apakah PPN tersebut bagian dari Inventory?, jawabannya : “Tidak”.

Misalnya:

Nilai pembelian lokal anda adalah Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp 100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw Material yang anda akui adalah sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)

Jurnalnya:

[Debit]. Inventory/Raw Material = Rp 1,000,000
[Debit]. PPN = Rp 100,000
[Credit]. Cash/Hutang Dagang = Rp 1,100,000

Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya bisa anda kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya jika sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada pengakuan Inventory/Raw Material saja dahulu.


[-]. Inbound Freight (Bea Angkut) atas Raw Material/Inventory Purchase

Jika pembelian raw material/inventory disertai oleh bea angkut (inbound freight), maka inbound freight adalah element dari inventory (otomatis akan menjadi element COGS).

Misalnya:
Dilakukan pembelian Rp 1,000,000 dan atas pembelian tersebut anda menanggung bea angkut sebesar Rp 50,000, maka jurnalnya:

[Debit]. Raw Material/Inventory = Rp 1,050,000
[Credit]. Hutang Dagang = Rp 1,050,000

Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.


[-]. Penggunaan Inventory/Raw Materials

Tidak menutup kemungkinan sejumlah tertentu dari raw materials atau inventory dipergunakan tidak untuk aktivitas yang berhubungan dengan produksi dan penjualan. Misalnya: Disumbangkan (charity), dipergunakan untuk keperluan pribadi (personal use), atau diserahkan kepada pihak tertentu yang bukan untuk maksud dijual.

Penggunaan Inventory/Raw material yang tidak dimaksudkan untuk berproduksi dan dijual, tidak boleh diakui sebagai Cost.

Pertanyaan: Kenyataannya inventory atau raw material berkurang, sementara pengurangan atas inventory/raw material tersebut tidak boleh diakui sebagai cost, lalu diakui sebagai apa dan bagaimana mencatatnya?.

Berkurangnya inventory/raw material tersebut dicatat sesuai maksudnya, jika di sumbangkan, catat sebagai biaya sumbangan (charity), jika dipergunakan untuk keperluan pribadi (personal use) maka dicatat sebagai piutang dagang atau jenis debit tertentu (mungkin: employee advance, atau director advance atau yang sejenisnya). Dan dijurnal:

[Debit]. Charity (Sumbangan)
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Pada buku Laporan Keuangan komersial, charity dikelompokkan ke dalam expenses (biaya operasional). Sedangkan bagi Ditjend pajak, sumbangan (charity) tidak diakui sebagai biaya/cost, dan akan menjadi koreksi fiskal atas laporan komersial yang mengakui adanya sumbangan (charity).

Atau di jurnal dengan:

[Debit]. Employee Advance/Director Advance
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Employee advance, bukan bagian dari “Nominal account” akan tetapi merupakan “Real Account” yaitu pada kelompok "Current Asset", yang nantinya (pada saat tertentu) harus di offset dengan rekening lain.

Misalnya:

Direktur mengambil beberapa unit inventory/raw material senilai Rp 500,000 untuk dipakai pribadi, atas pengambilan inventory tersebut dicatat:

[Debit]. Director Advance = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet
[Credit]. Inventory/raw Material = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet

Atas penggunaan pribadi inventory/raw material tersebut, akan dipotongkan pada gaji yang akan diterima oleh director pada bulan depannya, saat pembayaran gaji director dicatat:

[Debit]. Payroll Expense = Rp 10,000,000
[Credit]. Cash = Rp 9,500,000
[Credit]. Director Advance = Rp 500,000

Dengan jurnal ini, maka director advance menjadi nol, biaya gaji tetap sebagaimana seharusnya, dan cash yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah gajinya, karena sebagian gaji sudah diambil dalam bentuk inventory/raw material bulan lalunya.


Dengan posting ini ( Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes) ), saya rasa series Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) sudah cukup. Tapi jangan khawatir, nanti akan ditambahkan dengan kasus-kasus yang agak controversial, aneh, ajaib, lebih insightful dan pernak-pernik yang berhubungan dengan Cost Of Goods Sold, termasuk: inventory analysis, Cost of Goods Analysis dan cost ratio yang terkait, agar menjadi lebih kaya dan lebih advance tentunya.

May 11, 2008

Harga Pokok Penjualan (COGS) – Struktur Laporan

Seperti apakah bentuk dan struktur penyajian Harga Pokok Penjualan (COGS) pada Laporan Laba/Rugi?. Kita akan bahas sebentar lagi.

Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) yang sering disingkat dengan HPP atau COGS strukturnya berbeda-beda tergantung jenis usaha dan tingkat keperluan management dalam menyajikan laporan.

Ada perusahaan yang menyajikan “Laporan Laba/Rugi” hanya dengan menyebutkan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) saja, ada juga yang di sertai oleh rincian perhitungan-nya dengan lampiran terpisah, ada juga yang menyajikan semua element yang membentuknya secara lengkap.

Semakin jelas suatu laporan tentu semakin baik, saya pribadi menyarankan agar menyajikan Harga Pokok Penjualan (pada Laporan Laba/Rugi) minimal menunjukkan unsur utama yang membentuk harga pokok penjualan tersebut, sesuai dengan jenis usahanya.


Perusahaan Dagang

Seperti yang sudah sering saya sampaikan, bahwa untuk perusahaan dagang, harga pokok penjualannya biasanya hanya terdiri dari “Inventory” dan “Overhead” saja, untuk itu penyajian harga pokok penjualannya hendaknya menunjukkan kedua unsur tersebut.

Lebih concrete-nya, bentuknya bisa seperti ini:


Catatan: perhatikan area yang berwarna biru/grey.


Perusahaan Manufaktur

Untuk perusahaan manufaktur, adalah tidak mungkin menyajikan perhitungan dan analysis Inventory dan contributionnya terhadap Cost Of Goods Sold di dalam Laporan Laba Rugi, terlalu banyak item dan perhitungan. Untuk itu, pada Laporan laba rugi cukup disebut “Cost Of Goods Sold” saja. Sebagai penjelasan, Laporan Laba Rugi perlu disertai lampiran perhitungan dan analysisnya.

Bentuk Profit & Lost Statement mungkin seperti ini:



Sedangkan “Inventory/Cost of Goods Sold Analysis” yang dijadikan lampiran mungkin bentuknya seperti ini:


Catatan:

Jika pada “Profit & Lost Statement hanya menyebutkan “Cost Of Goods Sold” dan nilainya saja (tanpa rincian dan perhitungan), maka lampiran perhitungan/analysis wajib dilampirkan, dimana lampiran tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai bagaimana terbentuknya Cost Of Goods Sold. Cost Of Goods Sold Analysis ini juga disebut dengan “Inventory Valuation Analysis” untuk perusahaan manufaktur.

Memperhatikan lembar lampiran “Inventory/Cost Of Goods Analysis” di atas, dapat kita lihat bahwa lembaran analysis terdiri dari 4 (empat) sections yang masing-masing section di sertai oleh detail perhitungan, yaitu:

[-]. Inventory Unit Analysis
Berisi rincian perhitungan Inventory dalam unit (volume)

[-]. Cost Of Goods Sold Analysis
Berisi rincian perhitungan Cost Of Goods Sold (dalam $/Rp)

[-]. Inventory Costing
Berisi rincian inventory dalam value

[-]. Ending Inventory Breakdown
Berisi rincian jenis inventory (Raw Material, Work In Process & Finished Goods) yang nantinya akan masuk ke dalam Balance Sheet.

Sayang sekali, wadah yang saya siapkan untuk download belum siap di publish. Nanti jika sudah siap, lembaran kerja analysis yang sudah disertai formula yang sudah jadi dapat anda download di sana dalam bentuk template yang siap dipakai (tinggal masukkan angka saja) lengkap dengan kolom rincian product-nya, sehingga bisa melakukan inventory valuation analysis lebih rinci ke masing-masing jebis product-nya.

Pertanyaan:

Kemanakah Direct Labor Cost dan Overhead Cost-nya?

Jika anda mengikuti posting saya sebelumnya (Cost Of Goods Sold – Manufaktur (The Alure)), bisa anda temukan bahwa pada perusahaan manufaktur, Direct Labor Cost dan Overhead Cost telah diconvert ke dalam nilai inventory pada saat barang selesai dan diserahkan ke gudang penyimpanan barang jadi. Sehingga semua barang jadi (Inventory) yang masuk ke gudang penyimpanan sudah mengandung Direct Labor Cost & Overhead Cost.

Sebagai penutup serie setelah Harga Pokok Penjualan (COGS) - Struktur Laporan ini, di posting saya berikutnya, akan kita bahas: Cost Of Goods Sold – Taxation Notes. Disana akan saya bahas mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan Cost Of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) terkait dengan perpajakan.

May 9, 2008

COST OF GOODS SOLD (COGS/HPP) - MANUFAKTUR (The Alure)

Setelah Standard Cost & Variance dibahas, sekarang lanjut lagi mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP/COGS) perusahaan manufaktur. Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan perusahaan manufaktur adalah alur dan jurnalnya. Sekarang akan dibahas khusus alur dan jurnalnya.

Beberapa bulan yang lalu, friend’s of my friend mengalami kesulitan mengenai alur dan jurnal harga pokok produksi dan harga pokok penjualan, padahal dia sudah pernah menangani accounting sebuah pabrik sebelumnya. Hanya saja sebelumnya, pabrik yang ditangani tidak mengakui adanya persediaan barang dalam proses, sementara perusahaannya yang sekarang mengakui.

Ok, let’s keep it short and quick……

Sebenarnya alur harga pokok produksi sebagian sudah saya bahas di Standard Cost, hanya saja, karena di topic itu focus pada standard cost & variance, maka pembicaraan lebih banyak di sekitar bagaimana penentuan standard cost, terjadinya variance, perlakuan dan approach yang dipergunakan. Sehingga alurnya kurang difocuskan. Sekarang saya akan berfocus pada alur dan jurnalnya hingga terbentuknya Harga Pokok Penjualan (tanpa memperhitungkan adanya standard cost maupun variance).

Jika saya gambarkan dengan diagram, kurang-lebih seperti ini:

Masih memakai kasus PT. Royal Bali Cemerlang, produsen produk dasi, dimana perusahaan menerima pesanan product dasi sebanyak 20,000 pcs. Pada neraca periode sebelumnya diketahui saldo akhir persediaan sebagai berikut:

[-]. Raw Material (persediaan bahan baku) = Rp 2,000,000
[-]. Work In Process (persediaan barang dalam proses) = Rp 5,000,000
[-]. Inventory (persediaan barang jadi) = Rp 3,000,000


Untuk memenuhi pesanan, pada tanggal 01 April, PT, Royal Bali Cemerlang membeli kain sebanyak 3000 meters, dengan harga satuan Rp 25,000/meter secara kredit. Atas pembelian tersebut dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Raw Material = Rp 75,000,000
[Credit]. Account Payable = Rp 75,000,000

Jurnal di atas, akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan bahan baku bertambah sebanyak Rp 75,000,000.

Tanggal 05 April, raw material (kain) di keluarkan dari gudang penyimpanan bahan baku sebanyak 2800 meters, atas pengeluaran kain tersebut dicatat dengan jurnal:

[Debit]. WIP – Raw Material = Rp 70,000,000
[Credit]. Raw Material = Rp 70,000,000
( Rp 25,000 x 2800 meters = Rp 70,000,000)

Jurnal pengeluaran raw material di atas akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan berkurang sebanyak Rp 70,000,000

Dari kedua jurnal di atas, Buku Besar “Raw Material” akan menjadi sebagai berikut:

01 April, Saldo awal, Debit = Rp 2,000,000
01 April, Raw Material, Debit = Rp 75,000,000
05 April, Raw Material, Credit = (Rp 70,000,000)
------------------------------------------------------------
Saldo, Raw Material, Debit = Rp 7,000,000

Sedangkan Buku Besar “Work In Process (WIP)”, menjadi sebagai berikut:

01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,000
01 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,000
-----------------------------------------------------------------
Saldo, Raw Material, Debit = Rp 75,000,000

Pada tanggal 10 April dibayar ongkos perbaikan mesin produksi sebesar Rp 1,000,000 secara tunai, dicatat dengan jurnal:

[Debit]. WIP - Overhead Cost (Maintenance) = Rp 1,000,000
[Credit]. Cash = Rp 1,000,000

Pada tanggal 16 April dibayar listrik untuk pabrik sebesar Rp 850,000, untuk itu dicatat denga jurnal :

[Debit]. WIP - Overhead Cost (Electricity) = Rp 850,000
[Credit]. Cash = Rp 850,000

Pada tanggal 29 April dibayarkan upah buruh sebesar Rp 27,000,000 secara tunai. Atas pembayaran upah tersebut dicatat dengan jurnal:

[Debit]. WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000
[Credit]. Cash = Rp 27,000,000


Ketiga transaksi di atas, akan membuat Buku Besar “Work In Process” berubah menjadi sebagai berikut:

01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,000
01 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,000
10 April, WIP - Overhead Cost (Maintenance), Debit = Rp 1,000,000
16 April, WIP - Overhead Cost (Electricity), Debit = Rp 850,000
29 April, WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000
-----------------------------------------------------------------------------------
Saldo, Work In Process (WIP), Debit = Rp 103,850,000

Keseluruhan Cost yang masuk ke Work In Process (WIP) di ataslah disebut dengan HARGA POKOK PRODUKSI (Manufacturing Cost), yaitu sebesar Rp 70,000,000 + Rp 1,000,000 + Rp 850,000 + Rp 27,000,000 = Rp 98,850,000. Sehingga Harga Pokok Produksi untuk setiap unit product dasi adalah sebesar 98,850,000/20000 = Rp 4,943

Pada tanggal 30 April, barang sebanyak 15000 pcs telah dirampungkan dan diserahkan ke gudang penyimpanan barang jadi. Atas pemasukan barang jadi ke gudang penyimpanan di catat dengan jurnal:

[Debit]. Inventory = ?
[Credit]. WIP – Raw material = ?
[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?
[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?
[Credit]. WIP – Direct Labor Cost = ?

Masalahnya sekarang; berapakah besarnya nilai inventory diakui?, berapakah besarnya persediaan Work In Process di convert menjadi inventory?

Jika dilakukan secara manual, dapat dihitung dengan cara:

Inventory = Total Unit Barang Jadi yang dihasilkan x Harga Pokok Produksi
Inventory = 15000 x Rp 4,943 = Rp 74,137,500

Demikian juga dengan WIP yang diconvert menjadi inventory dihitung dengan cara yang sama. Sehingga jurnal-nya menjadi seperti dibawah ini:

[Debit]. Inventory = Rp 74,137,500
[Credit]. WIP – Raw material = 52,500,000
[Credit]. WIP – Overhead Cost = 750,000
[Credit]. WIP – Overhead Cost = 637,500
[Credit]. WIP – Direct Labor Cost = 20,250,000

Dari jurnal ini, akan menghasilkan buku besar sebagai berikut:

Buku Besar “Inventory”:

01 April, Saldo Awal, Debit = Rp 3,000,000
30 April, Inventory, Debit = Rp 74,137,500
----------------------------------------------------
Saldo, Inventory, Debit = Rp 77,137,500

Sedangkan Buku Besar “Work In Process” berubah menjadi:

01 April, Saldo awal, Debit = Rp 5,000,000
01 April, WIP – Raw Material, Debit = Rp 70,000,000
10 April, WIP - Overhead Cost (Maintenance), Debit = Rp 1,000,000
16 April, WIP - Overhead Cost (Electricity), Debit = Rp 850,000
29 April, WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000
30 April, WIP – Raw material, Credit = (52,500,000)
30 April, WIP – Overhead Cost, Credit = (750,000)
30 April, WIP – Overhead Cost, Credit = (637,500)
30 April, WIP - Direct Labor Cost, Credit = (20,250,000)
-----------------------------------------------------------------------------------
Saldo, Work In Process, Debit = Rp 29,712,500

Sampai pada tanggal 30 April barang yang sudah laku terjual baru sebanyak 14950 pcs dengan unit price Rp 12,000/pc. Atas penjualan tersebut dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Cost Of Goods Sold = Rp 73,890,375
[Credit]. Inventory = Rp 73,890,375
(Rp 4,943 x 14950 pcs = Rp 73,890,375)

Dan untuk mengakui penjualan dimasukkan jurnal:

[Debit]. Account Receivable = Rp 105,509,625
[Credit]. Sales = Rp 105,509,625
( Rp 12,000 x 14950 pcs)

Jurnal di atas akan menyebabkan Buku Besar “Inventory” berubah menjadi:

01 April, Saldo Awal, Debit = Rp 3,000,000
30 April, Inventory, Debit = Rp 74,137,500
30 April, Inventory, Credit = (Rp 73,890,375)
------------------------------------------------------
Saldo, Inventory, Debit = Rp 3,247,125


Saldo Buku Besar “Raw Material”, “Work In Process” dan “Inventory” akan masuk ke "BALANCE SHEET", sedangkan “Cost Of Goods Sold” dan “Sales” akan masuk ke “PROFIT & LOST STATEMENT”.

May 3, 2008

STANDARD COST, VARIANCE - Part 3 (Effisiensi)

Masih ada satu sub topic dari serie “Standard Cost, Variance & Effisiensi” yang belum saya bahas yaitu: mengalokasikan variance. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada rekening (account) variance di dalam laporan keuangan, jadi dibawa kemanakah variance ini? Bagaimana jurnalnya?. Yet, standard cost dan analysis variance sangat erat kaitannya dengan effisiensi, justru disinilah pembahasan Standard Cost dan Analysis Variance yang sesungguhnya. Apakah menurunnya cost sudah berarti effisiensi? Kita akan bahas sebentar lagi.

Hanya untuk recall saja, jika saya summarize variances yang sudah terjadi dari topic sebelumnya (Standard Cost, Variance & Effisiensi dan Standard Cost, Variance – Part 2), ada 4 (empat) variances yang ditemukan, yaitu:

[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Dari keempat variance di atas, “Raw Material Price Variance” ada 2 (dua) debit dan kredit, bisa langsung di off-set-kan, sehingga tinggal 3 (tiga) variances saja, yitu:

[Debit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Selanjutnya dibawa kemanakah variance tersebut?


Mengalokasikan Variance

Kita tahu pada laporan keuangan tidak mengenal rekening (account) “variance”, oleh sebab itu variance harus dialokasikan sebelum buku ditutup ke laba rugi dan neraca. Perlu diketahui, bahwa variance bukanlah rekening permanent, melainkan rekening sementara yang dijadikan salah satu instrument pengukur effisiensi semata-mata.

Bagaimanapun juga variance yang timbul adalah nyata dan harus diakui. Bagaimanapun juga pada akhirnya transaksi yang diakui dan dilaporkan adalah actual cost-nya (bukan standard cost-nya). Selisih antara actual cost dengan standard cost yang tadinya di post ke rekening variance masing-masing harus dikembalikan ke dalam cost-nya, sehingga nantinya cost yang di laporkan di dalam Profit & Lost Statament maupun Neraca adalah “sebesar actual cost-nya”.

Kapan variance dialokasikan ke cost?

Peng-alokasi-an dilakukan tentunya setelah semua variance di verifikasi, di analisa, disimpulkan dan didokumentasikan, selambat-lambatnya, sebelum proses tutup buku di laksanakan.

Kemana dan bagaimana mengalokasikan variance?

Variance pada raw material (either price variance or usage variance)

[-]. Jika pada saat pengalokasian variance ke cost-nya, barang jadi (inventory) sudah terjual seluruhnya, maka variance langsung di alokasikan ke Cost of Goods Sold (Material Usage), dengan jurnal (sesuai dengan contoh kasus):

[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 937,500
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500

[-]. Jika sebagian sudah terjual, sebagian belum, maka dilihat dahulu nilai variance-nya. Jika nilai variance-nya dianggap “immaterial”, maka bisa langsung dialokasikan ke COGS (Inventory usage) seperti jurnal di atas. Sedangkan jika nilai variance-nya dianggap ”material”, maka sebagian dialokasikan ke inventory, sebagian ke inventory usage (COGS) secara proportional (sesuai prosentase berapa terjual berapa yang masih berupa persediaan barang jadi), jurnalnya:

[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 900,000 (misal: sudah terjual)
[Debit]. Inventory = 37,500 (misal: belum terjual)
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500

Variance pada Direct Labor Cost

Langsung dialokasikan ke cost asalnya (Direct Labor Cost) dengan jurnal:

[Debit]. Direct Labour Cost (COGS) = Rp 62,500
[Credit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Variance pada Overhead Cost

Walaupun pada contoh kasus ini tidak ada variance, pada kenyataannya, tidak menutup kemungkinan variance bisa terjadi juga pada overhead cost, jika memang terjadi maka dialokasikan dengan jurnal:

[Debit]. Overhead Cost (COGS)
[Credit]. Overhead Cost Variance

Catatan: dengan jurnal di atas, maka rekening sementara variance sudah nol (terhapus), variance sudah dialokasikan ke cost aslinya dan cost yang diakui telah sama dengan actual costnya.

Kalau toh akhirnya dikembalikan ke actual cost-nya, buat apa mencari variance dan buat apa menerapkan standard cost?”.

Tujuan utama penerapan standard cost adalah semata-mata untuk mengukur dan menjaga effisiensi. Kita lanjutkan ke variance dan effisiensi, disana kita bahas lebih mendalam lagi.


Variance dan Effisiensi

Saya tambahkan sub pokok bahasan ini dengan harapan: mudah-mudahan bisa mengasah “awareness instinct (=kewaspadaan naluriah?)” akan potensi in-effisiensi dan bentuk-bentuk kebocoran yang bisa terjadi.

Ini penting bagi rekan-rekan di accounting dan keuangan, khususnya bagi mereka-mereka yang tidak merasa cukup puas dengan hanya menjadi clerk atau bookkeeper saja. So, untuk rekan-rekan yang hanya sekedar ingin tahu perlakuan dan jurnalnya saja, anda tidak perlu membaca (mengikuti) penjelasan saya lebih lanjut lagi, don’t waste your time.

Tapi bagi yang suka berpikir, ingin belajar lebih mendalam, ingin mengerti managerial-nya, saya encourage untuk mengikuti (membacanya) hingga akhir. You are not going to waste your time, you are eventually about to learn a more insightful of accounting cost, it will be well worth it.

Kembali ke basic-nya, variance cost (selisih pada cost), entah itu atas raw material, direct labor maupun overhead cost, jika variance yang timbul:

[-]. Bersaldo debit
Berarti actual cost-nya lebih tinggi dibandingkan standard cost, jika ini yang terjadi, artinya perusahaan beroperasi di atas budget yang sudah ditetapkan. Apakah ini sudah pasti kebocoran/inefficiency?, belum tentu, tetapi sudah pasti ada yang tidak beres.

[-]. Bersaldo Credit
Berarti actual cost-nya lebih rendah dibandingkan standard cost, yang artinya perusahaan beroperasi dibawah budget yang telah di tetapkan. Apakah ini sudah berarti effiseinsi?, belum tentu juga.

Variance manapun yang timbul, masih memerlukan follow-up (=tindak lanjut?) dari pihak manajemen. Yang bertugas untuk melakukan verifikasi dan analisa tentunya mereka (dia) yang bertanggung jawab mengelola keuangan perusahaan, mereka (dia) yang diharapkan menjadi pengaman asset perusahaan. Pada perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, tugas ini biasanya ditangani langsung oleh direktur, sedangkan pada perusahaan yang sudah bersekala corporation (besar) biasanya ditangani oleh Controller (Financial Controller) dan atau Chief Financial Officer (CFO).

Itulah sebabnya mengapa rekan-rekan di accounting dan keuangan (jika memang ingin mengembangkan career ke level yang lebih tinggi lagi) sebaiknya mulai pelan-pelan memahami: flow (alur), mobilty (perpindahan dan pergerakan) fisik barang sekaligus transaksinya secara terintegrasi, minimal (sekali lagi saya underline “minimal”).


Catatan: (Permakluman)

Banyak cara dan tempat untuk belajar. Tentu blog ini bukanlah sesuatu yang layak untuk dijadikan tempat belajar. Blog ini awalnya ingin saya jadikan sebagai wadah bagi diri saya untuk ber-ekspresi, ber-idealisme, sekaligus untuk tempat mengasah diri saya pribadi, untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah saya kerjakan. Jikapun ada diantara rekan-rekan pengunjung menganggap blog ini sebagai alternative sarana belajar, bertukar pikiran, dan berbagi, dan lain sebagainya, saya berterimakasih dan bersukur. Amin!. Atas dasar pemikiran itulah saya merasa perlu membenahi-nya, agar bisa memberikan sumbangan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dan untuk maksud tersebut, saya sadar itu butuh waktu, saya harus belajar lebih banyak hal lagi. Sekalilagi terimakasih untuk support-nya.


Kembali ke topic……

Jika memiliki product knowledge yang kuat, mengetahui tehnis pelaksanaan mulai dari research & development, marketing, purchasing, production, quality management, packaging, inventory management, sales sampai ke shipping, ditambah dengan accounting, keuangan dan perpajakan, maka fungsi pengendalian (controlling) akan bisa dilaksanakan dengan sangat baik. Karena kunci dari fungsi pengendalian adalah memahami dan menguasai “the whole picture” secara terintegarsi, bukan sebagian-sebagian atau sepenggal-sepenggal, apalagi cuma setengah-setengah.

Mengapa perlu?

[-]. Karena tanpa menguasai flow dan mobilitas (pergerakan/perpindahan) fisik barang dari satu bagian ke bagian yang lain, dari satu section ke section yang lain, dari satu workstation ke workstation yang lain, dari hulu hingga ke hilir dan balik ke hulu lagi, maka mustahil untuk bisa meng-interpretasi-kan transaksi ke dalam pencatatan dan pelaporan dengan benar dan akurat.

[-]. Karena tanpa product knowledge dan tehnis process di semua bagian, section, dan workstation, mustahil untuk bisa melakukan verifikasi dan analisa yang benar dan akurat juga.

Contoh (sebagai ilustrasi saja):

Ada variance bersaldo negative (note: untuk yang bersaldo positif rasanya saya tidak perlu jelaskan lagi, sudah banyak saya bicarakan), artinya actual cost lebih rendah dibandingkan standard cost-nya. Apakah itu sudah berarti effisien? Masih perlu kajian dan analisa lebih jauh lagi dibandingkan sekedar angka variance. Perlu mengetahui formula-formula dibawah ini:

[-]. Secara alamiah, efficiency sering berbanding terbalik dengan quality of product.
[-]. Naturally, speed (total hour dibagi oleh total quantity atau volume) sering berbanding terbalik dengan quality.

Artinya apa?, jika menemukan variance negative (actual cost lebih kecil dari standard cost) maka anda sudah harus melakukan:

[-]. Verifikasi antara angka-angka di buku dengan bukti transaksi dan physical count.

Question: Bagaimana bisa melakukan itu jika tidak menguasai alur fisik barang dan alur transaksi secara terintegrasi?

Okay, let’s say sudah diverifikasi dengan benar, memang matching and it’s confirmed, memang benar ada negative variance, apakah itu sudah cukup? Not yet….

[-]. Itu merupakan another alarm bell atau red alert atau sinyal bahaya lainnya pada “quality of product”, anda sudah harus cepat-cepat periksa quality barang yang dihasilkan, tentu saja tanpa meng-intervensi kerja bagian quality control, anda hanya perlu melakukan verifikasi dan analisa, bagian keuangan berhak untuk melakukan itu, tentunya disesuaikan dengan level dan authority-nya.

Question: Bagaimana bisa melakukan itu jika tidak menguasai quality management and its standard?. Mustahil bukan?

Kembali ke masalah quality dan effisiensi. Ini formula selanjutnya yang perlu diketahui (di ingat baik-baik):

[-]. Quality berbanding lurus dengan sales (both in volume & value). Semakin menurun qualitas, most probably sales akan turun juga.
[-]. Sales sudah pasti (saya yakin anda sudah tahu) berbanding lurus terhadap revenue.
[-]. Revenue berbanding lurus terhadap PROF!T.

So, you are questioning mebagaimana jika produksi berdasarkan pesanan?, toh barang sudah dipesan”.

Tahukah anda bahwa, purchase order tidak berarti orang tidak boleh mengembalikan barang, jika poor in quality pasti barang dikembalikan, jika quality “agak” rendah, mungkin barang tetap diterima tetapi dengan discount.

Okay, let’s say, somehow, quality rendah, tetapi barang diterima dan tanpa discount. Does that sound perfect?. Belum tentu, sangat mungkin back-order atau repeat order-nya akan dikurangi, atau bahkan tidak ada repeat order lagi. Jika new customer, hampir bisa dipastikan tidak akan pernah kembali lagi, artinya conversion menurun (kesempatan untuk meng-convert new customer menjadi regular customer hilang). See, we just through the “next cash” out of the window.

Tapi, itu kan nanti, yang jelas untuk periode ini perusahaan untung”. A-a, perlu diketahui, kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan untuk periode yang akan datang adalah bentuk lain dari cost. Namanya “Opportunity Cost”.

apakah opportunity cost dilaporkan di dalam laporan keuangan?”. Memang, tidak dilaporkan, tetapi akan muncul nanti pada laporan yang akan datang dalam wujud "pertumbuhan revenue yang menurun".
Misalnya:
Dua periode sebelumnya memperoleh revenue Rp 1,000,000 dan periode yang lalu memperoleh revenue Rp 1,500,000, dan periode berjalan memperoleh revenue Rp 2,250,000. Artinya rata-rata pertumbuhan revenue adalah 150%. Dengan rata-rata 150% seharusnya revenue di periode berikutnya seharusnya Rp 3,375,000, tetapi karena menurunnya quality, beberapa customer yang menerima poor quality product tidak melakukan pesanan lagi, sehingga angka Rp 3,375,000 kemungkinan besar tidak akan tercapai. In worst case, sangat mungkin revenue malah turun ke angka dibawah Rp 2,250,000.


Contoh lain: (kasus yang berbeda)

Terjadi variance bersaldo negative pada Direct Labour Cost, artinya upah buruh yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan standard cost, apakah sudah berarti effisiensi? Belum tentu juga.

Pada Direct Labor Cost (upah buruh) berlaku formula:

[-]. "Direct Labor Cost" berbanding lurus terhadap “descent work(=tingkat kepuasan kerja?)”.
[-]. "Descent work" berbanding lurus terhadap "employee loyalty"
[-]. "Employee loyalty" berbanding lurus terhadap "productivity"
[-]. "Productivity" berbanding lurus terhadap "Revenue"
[-]. "Descent work" berbanding terbalik terhadap "Employee turnover (arus keluar masuk karyawan)".
[-]. "Employee Turnover" berbanding lurus dengan "Recruitment & Training Expense"

Menurunnya upah buruh sangat mungkin mengakibatkan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh, dan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh secara alamiah akan menurunkan productivity, productivity berpengaruh terhadap revenue. Tingkat kepuasan kerja yang menurun juga mengakibatkan employee turnover yang tinggi, employee turnover yang tinggi akan mengakibatkan recruitment dan training expense meningkat. Look, that’s another big potential cost.

Failure dalam menentukan “employee retention policy (=kebijakan dalam pemberian kompensasi, incentive dan kesempatan berkembang)” could directly impact productivity and employee turnover.

Catatan: Approach yang sesuai terhadap "Kebijakan Ketenaga Kerjaan", "Human Resource Management" adalah salah satu kunci kesuksesan aktifitas pengendalian. Dan, rasanya akan menjadi sesuatu yang berat jika kedua hal tersebut tidak dikeuasai dengan baik.

Kesimpulan

Dari awal pembahasan hingga sekarang sepertinya in-efficient salah, efficient juga salah, yang benar yang mana?, mana yang lebih penting; efficient atau quality?, Direct Labor Cost efficiency atau Descent Work?

Kondisi ideal yang diharapkan tentu: Qualitas product terbaik pada tingat effisiensi yang tinggi juga, descent work tertinggi pada tingkat effisiensi direct labor cost yang tinggi juga. Goal setting yang tinggi adalah postif, tapi perlu realistis in the same time.

Dengan melakukan trend analysis dari satu period ke period yang lain, membandingkan unsur-unsur: variance Vs quality, variance Vs productivity, variance Vs employee turnover yang pada akhirnya membandingkan revenue Vs cost/expense secara berkesinambungan, akan dapat menentukan “Match Point (titik temu)” dan “Elasticity” antara unsur-unsur yang di bandingkan.

Yang dimaksudkan dengan match point di sini adalah:

titik” dimana:

[-]. Effisiensi Vs Quality, mengahasilkan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Productivity, menghasilan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Employee Turnover, menghasilkan profit tertinggi

Match point tersebutlah nantinya akan dijadikan acuan standard cost berikutnya, standard untuk mentukan kebijakan-kebijakan perusahaan di semua department diperiode berikutnya. Dengan usaha yang terus menerus, dari period ke periode berikutnya yang semakin ditingkatkan, suatu saat kondisi ideal yang diharapkan tentunya bisa diwujudkan.

Last question:

Kalau toh pada akhirnya untuk mencari tingkat profitability maximum, bukankah cukup hanya dengan menganlisis laporan laba rugi saja?, toh sudah bisa dibandingkan antara revenue dengan cost, antara sales dengan gross margin, antara sales dengan profit margin, dan sebagainya?

Pszz…..wrong conclusion.

Semua analisa perbandingan tadi adalah dengan asumsi, “NO ERROR (Zero Error)”, hanya masalah mencari titik temu saja. Pada kenyataannya, error sering terjadi, kesalahan bisa timbul dimana saja, entah karena kurangnya ketrampilan pegawai/buruh, atau adanya pegawai/buruh yang bekerja diluar system yang telah ditentukan.

Salah satu fungsi pengendalian adalah menangkap sinyal error sejak dini, sehingga bisa mencegahnya (tidak membiarkan-nya terjadi). Menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Jika pintar, maka harus bisa meng-identifikasi dan mencegahnya, jikapun tidak bisa dicegah, maka error yang timbul harus dicari akar masalahnya, lalu shutdown right on the spot (tepat d ititik dimana terjadi-nya error), jangan sampai meluas atau menjalar, dan tidak akan terjadi lagi. Itu baru smart.

Jika diperusahaan anda menggunakan STANDARD COST, artinya akan ada VARIANCE, artinya perusahaan sangat care terhadap effisiensi. Semua itu membutuhkan kerja keras dan commitment yang sungguh-sungguh dari semua element di perusahaan. Jika belum, mungkin ingin mencoba menerapkan standard cost?

Apr 29, 2008

STANDARD COST, VARIANCE - Part 2

Kita akan explore lebih jauh lagi mengenai STANDARD COST , VARIANCE dan EFFISIENSI. Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul?, Bagaimana perlakuannya?.

Masih memakai contoh product dasi yang kita pakai di Standard Cost, Variance & Effisiensi Part 1. Untuk mengingat kembali dan supaya tidak bolak balik mencarinya, tabel standard cost-nya saya tampilkan lagi dibawah ini:


Kemungkinan perbedaan (variance) bisa terjadi pada jumlah (quantity) raw material yang dipakai maupun di wilayah dan aktivitas lainnya.

Kasus:

Setelah product “Dasi (Tie)” selesai di kerjakan, barang dihitung, dan hasilnya:
- Barang Jadi yang dihasilkan 1750 pcs
- Hasil rekapitulasi upah buruh Rp 11,000,000
- Penggunaan listrik Rp 656,250

Hal itu juga ditunjukkan oleh nota serah terima dari bagian produksi ke gudang penyimpanan barang jadi yang sudah di validasi, Rekapitulasi upah buruh dan tagihan listrik.

Lalu?

Data tersebut dibandingkan dengan tabel standard cost:

[1]. Penggunaan raw material

Menurut tabel standard cost dari 3000 meters material yang dipakai seharusnya bisa menghasilkan product dasi sebanyak 2000 pcs, kenyataannya barang yang dihasilkan hanya sebanyak 1750 pcs. Artinya ada perbedaan sebanyak 50 pcs.

Perbedaan penggunaan raw material dihitungn dengan cara:

Raw Materal Usage Variance = 50 pcs x 0.15 x 25,000 = Rp 187,500


[2]. Direct Labor Cost

Dengan jumlah barang yang dihasilkan yang hanya sebanyak 1750 pcs dimana time required per unit product-nya adalah 0.25 hour, maka total hournya hanya 437.50 hours, so total upah buruh seharunya Rp 5,495 x 437.5 hours = Rp 10,937,500. Sedangkan kenyataannya Rp 11,000,000, jadi ada selisih sebesar Rp 11,000,000 – Rp 10,937,500 = Rp 62,500.


[3]. Electricity Usage

Menurut tabel standard cost listrik yang seharusnya dipergunakan dihitung dengan cara:

1750 pcs x 0.25 hours x Rp 1,500 = Rp 656,250, berarti tidak ada variance pada penggunaan listrik.


Kita sudah mendapatkan semua angka variance. Setelah semua di verifikasi dengan semestinya, selanjutnya tinggal menjurnalnya.

Ada beberapa jurnal yang diperlukan, yaitu :

(a). Pengakuan terhadap pengeluaran kain dari gudang ke bagian produksi

[Debit]. Work In Process (WIP) - Raw Materials = Rp 75,000,000
[Credit]. Raw Materials = Rp 75,000,000

(Catatan: Diakui sebesar Standard Cost-nya = 3000 meters x Rp 25,000)

(b). Pengakuan pengeluaran kas atas upah buruh

[Debit]. Work In Process (WIP) – Direct Labour Cost = Rp 10,937,500
[Credit]. Cash = Rp 10,937,500

(c). Pengakuan pengeluaran kas atas pembayaran listrik

[Debit]. Work In Process (WIP) – Overhead = Rp 656,250
[Credit]. Cash = Rp 656,250


Catatan: sampai di sini, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
* Jurnal di atas dipakai untuk perusahaan manufaktur yang mengakui adanya persediaan barang dalam process (work in process inventory).
* Dalam kasus ini diakui sebesar standard cost-nya.

(d). Mengakui kenaikan penambahan nilai inventory (finished goods) atas penyerahan barang jadi ke gudang:

[Debit]. Inventory (Finished Goods) = Rp 86,343,750
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

[Credit]. WIP –Raw Material = Rp 75,000,000
[Credit]. WIP – Direct Labour Cost = Rp 10,937,500
[Credit]. WIP – Overhead (electricity) = Rp 656,250

Catatan:

Sekali lagi, jurnal di atas dipakai jika perusahaan mengakui adanya persediaan barang dalam proses (WIP = Wor In Process)

Jika tidak, bisa dijurnal dengan 1 tahap saja (tanpa melalui rekening barang dalam process):

[Debit]. Inventory (Finished Goods) = Rp 86,343,750
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

[Credit]. Raw Material = Rp 75,000,000
[Credit]. Cash = Rp 10,937,500
[Credit]. Cash = Rp 656,250


Pengendalian Cost

Dari semua transaksi tadi, kita menemukan adanya variance sejumlah Rp 187,500 akibat pemborosan (in-efficiency) dalam penggunaan bahan baku, entah karena ada barang rusak atau memang kenyataan consumption-nya lebih besar dari 0.15 meters. Variance juga timbul pada total hour yang dipergunakan dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga upah buruh membengkak sebesar Rp 62,500. Kasus seperti ini hendaknya mendapat perhatian yang serius dari pihak manajemen, terutama yang bertugas melakukan pengawasan (pengendalian). Tentu saja melalui verifikasi yang cukup, agar ditemukan letak masalahnya.

Apa kemungkinan penyebabnya? Ada beberapa kemungkinan:

[-]. Variance pada penerimaan raw material (harga lebih tinggi dari standard cost):

Bisa jadi karena harga raw material memang meningkat (inflasi). Jika saja; supplies contract, dan price quotation atas semua jenis supplies rutin di-review dan di-update regularly, seharusnya hal seperti tidak perlu terjadi.

Kemungkinan kedua adalah “fraud (penyelewengan)” yang dilakukan oleh pihak intern perusahaan.

[-]. Variance pada Raw material usage :

Bisa jadi penghitungan consumption sebelum dituangkan ke dalam budget dan standard cost tidak dilakukan dengan akurat. Atau memang banyak terjadi kesalahan pada saat proses produksi.

[-]. Variance pada Direct Labour Cost:

Bisa jadi karena time motion test (penghitungan jam mesin/tenaga kerja) tidak dilakukan dengan akurat, sehingga data yang dimasukkan ke dalam budget dan standard cost juga tidak akurat. Atau karena pada produktifitas tenaga kerja dan mesin memang menurun (in-effisensi), entah karena kurang bagusnya production set-up atau karena miss-production management.

Semua itu memerlukan verifikasi, penyidikan dan pembuktian lebih lanjut. Diperlukan follow up. Yang jelas, kemungkinan manapun nantinya yang terjadi seusungguhnya, Jika perusahaan ingin tetap survive dan sehat, maka hal seperti ini tidak boleh ditoleransi. Harus ada pihak yang bertanggung jawab. Sampai saat ini “Funsihment or Reward” approach masih terbukti yang paling effektif untuk melakukan pengendalian.

Pertanyaan terakhir: lalu variance itu akan dikemanakan?, bukankah kita tidak pernah menemui adanya rekening “variance” pada Chart of Account?. Pertanyaan yang sangat bagus. Semua itu akan kita jawan di Standard Cost, Variance & Effisiensi – Part 3.

Apr 27, 2008

STANDARD COST, VARIANCE & EFFISIENSI

Sampai saat ini STANDARD COST masih banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur. Untuk perusahaan-perusahaan kecil (small business) di Indonesia standard cost jarang diterapkan, tetapi itu bisa dimengerti karena terbatasnya sources tenaga kerja accounting yang benar-benar bisa menguasai cost accounting, utamanya standard cost. Mengapa standard cost banyak diterapkan?, apa itu VARIANCE?, apa hubungannya dengan EFFISIENSI? lebih penting lagi bagaimana memperlakukan variance?, apa artinya?

Karena luasnya scoop pembahasan, saya tidak akan panjang lebar membahas theories maupun kajian-kajiannya, melainkan akan lebih berfocus kepada tata cara, perlakuan, dan aktifitas pengendaliannya. Tentu saja didahului oleh pemahaman logika-nya, agar tetap mudah untuk dipahami dan diterapkan.

Mudah-mudahan dengan artikel ini, cost accounting bisa lebih dipahami lagi, dannnn…. Rekan-rekan di accounting tidak hanya sekedar bisa menjurnal dan membuat laporan saja, melainkan juga bisa mengukur effisiensi cost yang timbul di produksi.

Setelah bisa menilai effisiensi tentunya diharapkan bisa memberikan solusi (jalan keluar) dan menjadi:

[-]. Penyedia alat ukur yang effektif (effective tools provider)
[-]. Penagkap sinyal keborosan (effective lost detector)
[-]. Pencegah kebocoran/pemborosan yang efektif (effective lost preventer)
[-]. Pemecah masalah (trouble shooter NOT trouble maker)

Yang pada akhirnya bisa:

[-]. Menjadi asset sumberdaya manusia yang bisa memberikan kontribusi yang tinggi bagi perusahaan (dimanapun bekerja),
[-]. Menjadi pribadi yang merupakan bagian dari jawaban (bukan bagian dari masalah)
[-]. Menjadi pribadi-pribadi yang professional dan dapat dihandalkan tentunya.

Wah....hyperbola”. Tentu saja tidak. Tidak ada hal yang tak mungkin jika dilakukan dengan kesungguhan hati.


Sekilas Mengenai Standard Cost & Variance

[Q] = Question (pertanyaan)
[A] = Answer (jawaban)

[Q]. Apa itu “Standard Cost”?
[A]. Standard Cost adalah Cost yang diharapkan akan terjadi (expected cost), yang ditetapkan (dipatok) oleh perusahaan.

[Q]. Di dalam perusahaan, dimana standard cost diterapkan?
[A]. Pada: Bahan Baku (Raw Material), Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost) dan Overhead Cost.

[Q]. Mengapa Standard Cost diterapkan?
[A]. Untuk mengukur effisiensi.

[Q]. Bagiaman menerapkannya?
[A]. "Standard Cost" dibandingkan dengan “Actual Cost

[Q]. Apa itu actual cost?
[A]. Kenyataan cost yang timbul

[Q]. Setelah dibandingkan?
[A]. Bisa jadi timbul perbedaan

[Q]. Lalu?
[A]. Perbadaan itulah yang disebut “Variance(bahasa penjajah)

[Q]. Ok ada perbedaan (variance lah, apalah), so what gitu loch?
[A]. Jika ada variance itu pertanda ada sesuatu (allert).

[Q]. Wuihhh… masalah ya?… toloooooong…!!! by the way, masalah apa ya?
[A]. Ada sesuatu :P

[Q]. Haaah….., Sesuatu??... sesuatu apaan?!!

Sesuatunya itu, kita bahas sambil jalan, okay? :-), dari Question & Answer tadi, saya berharap anda sudah mendapat gambaran dasar, apa itu standard cost, apa itu variance. Jika belum, saya yakin itu akan menjadi lebih jelas lagi setelah melihat contoh penerapannya nanti.


Penerapan – Perlakuan: Standard Cost & Variance

Standard cost adalah cost yang ditentukan terlebih dahulu oleh manajemen perusahaan, yang dalam hal ini biasanya oleh Financial Controller (jika ada) atau oleh General Manager (jika ada) atau oleh Direktur, atas dasar data-data yang disediakan oleh bagian accounting dan keuangan, yang sudah dirangkum menjadi Budget tahun tertentu.

Pada pelaksanaanya biasanya akan muncul perbedaan-perbedaan, perbedaan itulah yang disebut dengan “Variance” (untuk selanjutnya kita akan selalu sebut dengan “variance” saja). Variance bisa terjadi pada bagian manapun, akan tetapi kaitannya dengan standard cost, cost yang di-standard-kan hanya berada pada cost yang terkait langsung dengan produksi saja, yaitu : Raw Material, Direct Labor dan Overhead. Sehingga, variance bisa terjadi di antara ketiga jenis cost tersebut. Jenis variance pun bisa berupa price variance, atau quantity variance, atau hour variance.

Contoh:

PT. Royal Bali Cemerlang, perusahaan manufactur di Tangerang yang khusus memproduksi “dasi(ties)” (mungkin dasi yang sedang anda pakai juga hasil produksi dari PT. Royal Bali Cemerlang?, kidding…..:-) ). Manajemen menginginkan agar perusahaan (bagian produksi khsusunya) disiplin dalam menjalankan budget yang telah ditentukan pada tanggal 01 January 2008, dan tidak melakukan pemborosan. Oleh sebab itu, perusahaan menentukan standard cost untuk product dasi (tie) yang dibuat sebagai berikut:



Catatan : yang diatas sekaligus sebagai contoh tabel standard cost (untuk diketahui)


Standard Cost & Variance pada Raw Material

Pada tanggal 25 April, diterima kain sebanyak 1000 meters dari toko kain, pada faktur yang diterima beserta kain, diperoleh data sebagai berikut:

Kain, Qty = 1500 meters, Unit Price Rp 26,000/meter, Total Amount Rp 39,000,000

Jika dibandingkan dengan standard cost tabel di atas, maka dapat kita temukan perbedaannya, yaitu di unit price-nya, pada standard cost Rp 25,000/mtr, sedangkan kenyataannya (actual cost di faktur) Rp 26,000, sehingga ada “variance” pada harga kain sebesar Rp 1,000/meter, dan total variance = Rp 1,500,000

Maka dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Raw Material = Rp 37,500,000
[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000
[Credit]. Account Payable = 39,000,000

Catatan: Raw Material yang dibeli tetap dicatat menggunakan “Standard Cost”, sehingga nilai persediaan raw material akan meningkat sebesar Rp 37,500,000 saja (sesuai standard Cost), meskipun tentu saja hutang tetap diakui sesuai dengan “Actual Cost, sedangkan perbedaan pada harga raw material diakui sebagai variance yang disebut dengan “Raw Material Price Variance.

Tanggal 28 April 2008, datang pengiriman kain yang ke-2, dengan faktur sebagai berikut: Qty 1500 meters, Unit Price Rp 24,500/meter. Jika dibandingkan maka dapat kita temukan adanya perbedaan lagi, tetapi kali ini harganya lebih rendah Rp 500/meter dibandingkan standard cost.

Dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Raw Material = Rp 37,500,000
[Credit]. Account Payable = Rp 36,750,000
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000


Nantinya di akhir bulan (pada penutupan bulan April 2008), buku besar akan nampak sebagai berikut:

Buku Besar Raw Material :
25 April 2008, Debit = Rp 37,500,000
28 April 2008, Debit = Rp 37,500,000
----------------------------------------------
* Saldo, Debit = Rp 75,000,000
(Catatan: sesuai dengan standard cost = 3000 pcs x 25,000 = 75,000,000)

Buku Besar Account Payable:
25 April 2008, Credit = Rp 39,000,000
28 April 2008, Credit = Rp 36,750,000
----------------------------------------------
* Saldo, Debit = Rp 75,750,000

Raw Material Price Variance:
25 April 2008, Debit = Rp 1,500,000
28 April 2008, Credit = Rp 750,000
----------------------------------------------
* Saldo, Debit = 750,000

Kesimpulan: Total Raw Material Variance, Debit= Rp 750,000

Apa artinya?

Artinya sejauh ini, Actual Raw Material Cost Rp 750,000 lebih tinggi dibandingkan Standard Cost, artinya cost yang ditanggung oleh perusahaan Rp 750,000 lebih tinggi dibandingkan cost yang diharapkan (expected cost), karena actual cost lebih tinggi dibandingkan standard cost, artinya sampai sejauh ini (per 31 april 2008 nanti) laba yang akan diterima oleh perusahaan nantinya akan lebih rendah Rp 750,000 dibandingkan dengan laba yang direncanakan, tentu itu pertanda buruk!,

Jika accounting bisa melaksanakan fungsinya: menganalisa bukti transaksi, melakukan validasi, mencatat dengan akurat, memperlakukan transaksi dengan benar, melakukan analisa dan pelaporan dengan benar dan TEPAT WAKTU, masalah seperti ini harus langsung diketahui dan diantisipasi begitu data masuk ke accounting (saat faktur penerimaan kain dan nota pembelian diterima).

Berupa apakah antisipasinya?

Antisipasinya: Melakukan verifikasi ke bagian pembelian (purchasing), mengapa ada perbedaan harga?.

Jika bagian purchasing tidak melakukan reaksi yang positif, apa artinya?, ada sesuatu!, jika menunjukkan reaksi yang positif (melakukan verifikasi langsung ke supplier, meminta nego harga ke harga yang dahulu, dsb), itu pertanda positif.

Apa yang harus dilakukan pihak accounting?: meminta approval/validasi kepada financial controller atas transaksi tersebut.

Financial Controller: memberi tanda bintang kepada accounting atas ke akuratan dan ketepatan reaksi yang ditunjukkan, dan memberi tanda Tanya “?” untuk bagian purchasing. Diberi tanda Tanya, artinya masuk dalam daftar pengawasan.

Okay, anyway sudah terjadi, bagian purchasing masih melakukan langkah antisipasi, Financial Controller tetap mengawasi bagian purchasing. Sementara di accounting, apa yang harus dilakukan atas variance yang timbul?, bagaimana mencatat dan memperlakukan variances berikutnya PADA : DIRECT LABOR COST maupun PADA: OVERHEAD COST ?. Bagimana pengaruhnya terhadap Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan?

Standard Cost dan Variance masih akan berlanjut, akan tetapi akan dilanjutkan di Standard Cost & Variance – Part 2.

Accounting (Akuntansi), Financial (Keuangan) & Taxation (Perpajakan). Didedikasikan bagi mereka yang membutuhkan artikel, tips, Case study, spreadsheet & tools yang bersifat aplikatif.


K A T E G O R I

Account Receivable (4) Accounting (93) Accounting Case Study (15) Accounting Certification (1) Accounting Contest (1) Accounting For Manager (4) Accounting Software (2) Acquisition (5) Advance accounting (6) Aktiva Tetap (16) Akuisisi (5) Akuntansi Biaya (3) Akuntansi Dasar (2) Akuntansi Management (4) Akuntansi Pajak (9) Akuntansi Translasi (2) Announcement (6) archiving (1) ARTICLES (4) ARTIKEL (91) Audit Kinerja (1) Auditing (3) Balance sheet (1) Bank (1) Basic Accounting (1) Bea Cukai (4) Bea Masuk (7) Calculator (2) Capital (1) Career (2) Cash (1) Cash Flow (3) Certification (1) COGS (11) Contest (1) Cost (18) Cost Analysis (12) CPA (2) CPA EXAM (1) Credit (1) Credit Policy (1) Current Asset (1) Data (1) Discount (1) Diskon (1) Duty (1) Expense (4) Export - Import (15) FASB (1) Finance (8) FINANCIAL (16) Financial Control (10) Foreign Exchange Rate (1) Form (2) FOTO (1) FRAUD (2) Free Download (9) Freebies (6) GAAP (1) GAJI (3) Garansi (1) Gift (1) Goodwill (1) Hotel (1) IFRS (1) Import (5) Import Duty (7) International Accounting (1) Investasi (1) Job Vacant (1) Kas (6) Kas Bank (3) Kas Kecil (1) Kasus Akuntansi (3) Kasus Legal (2) Kasus Pajak (6) Keuangan (3) Komentar (1) Konsolidasi (4) Laba-Rugi (1) Lain-lain (15) LANDING COST (1) Laporan Arus Kas (2) Laporan Keuangan (9) Lean Accounting (1) Lean Concept (1) Lean Manufacturing (1) Legal (1) Lowongan Kerja Accounting (2) MA Accounting (3) Management Accounting (5) Merger (4) Miscellaneous (2) Modal (1) neraca (1) PAJAK (24) payroll (1) Pembelian (2) Pemberitahuan (3) Pendapatan (2) Pengakuan Pendapatan (1) Pengarsipan (1) Pengendalian (6) Pengendalian Keuangan (15) PENGGELAPAN (1) Penjualan (1) Perlakuan akuntansi (2) Petty Cash (1) PHOTO (1) Piutang (1) PPH PASAL 21 (11) PPh Pasal 22 (3) PPh Pasal 26 (2) PPn (2) PPn Import (5) Professi Akuntan (1) Profit-Lost (1) PURCHASE (2) Quiz (1) Rabat (1) Rebate (1) Retur (1) Return (1) Revenue (4) Review (1) Sales (2) SERIE ARTIKEL (1) Sertifikasi (1) Shareholder (1) Shipping Agent (1) Shipping Charge (1) Soal dan Jawaban CPA (1) SPI (1) Spreadsheet Accounting (5) Spreadsheet Gratis (4) system pengendalian (1) system pengendalian gaji (1) Taxation (18) Template (2) Tip n Tricks (4) TIPS AND TRICKS (38) Tools (8) Tutup Buku (1) Ujian CPA (1) UPAH (3) update situs (2) USAP (2) Utilities (1) Video Tutor (1) warranty (1) What Is New (7)

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Mengapa perlu men-subscribe ?
Dengan men-subscribe, anda akan menerima pemberitahuan setiap kali ada update terbaru (artikel, tips, free download template, files, dll) dari ACCOUNTING, FINANCE & TAXATION langsung di INBOX e-mail anda.
Bagaimana caranya mensubscribe ?=> Ketik e-mail address anda (pada kolom yang disediakan diatas)=> Klik tombol "subscribe"=> Setelah men-klik tombol subscribe, akan muncul window (halaman) baru=> Pada halaman baru tersebut, masukkan kode validasi yang disediakan=> Klik tombol "subscribe"=> Masuk ke inbox email anda, lalu klik link verifikasi yang disediakan=> Selesai