Pages

Pemberitahuan

Update dan postingan baru dari blog ini bisa anda temukan di Accounting-Financial-Tax.com. Di situs yang baru ini makin banyak topik di bahas, berbagai accounting standard, concept dan contoh kasus yang bervariasi. Dengn ciri khas yang sama: detail, mendalam, dan practical. Diupdate setiap hari, termasuk perkembangan terkini dari international accounting standard [IAS], International Financial Reporting Standard [IFRS], GAAP Codification [ASC], Auditing Standard, dll. Dan, semuanya disajikan dengan interface yang lebih user friendly, clear navigation yang mengkaitkan antara satu topic dengan topic lain, dengan tingkat accuracy yang selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.

"Accounting theories and concept" adalah penting, akan tetapi apalah artinya concept dan theory jika tidak diwujudkan dalam tingkatan implementasi.

Per 2011, saya juga aktif menulis di JurnalAkuntansiKeuangan.com yang di launch baru-baru ini, meskipun tak cukup sering.

Google
 
Showing posts with label Accounting Case Study. Show all posts
Showing posts with label Accounting Case Study. Show all posts

Apr 20, 2008

NILAI BUKU AKTIVA NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI ?

Nilai Buku sudah nol tetapi kenyataannya aktiva masih berfungsi”, that is a common phenomenon, jamak terjadi. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Apa yang harus dilakukan? Apakah buku sebaiknya dibiarkan saja dengan menutup mata bahwa aktiva tersebut masih memberi manfaat?, di kesempatan ini saya akan angkat study kasus yang saya alami sendiri (kenyataan/bukan ilustrasi).

Kasus seperti ini membawa ingatan saya ke 6 tahun yang lalu, ketika saya baru bergabung dengan sebuah private company (setelah beberapa tahun di KAP & Consultant). Sebagai chief accounting yang baru di recruit, saya menempatkan “Inventarisasi Asset” di top priority project yang harus saya accomplished di minggu pertama saya.

Ketika saya memperoleh “Asset List” dari salah satu staff accounting (yang memang sudah 2 tahun lebih dahulu bergabung di perusahaan tersebut), dengan didamping staff yang bersangkutan saya langsung verify list dengan physic asset-nya, mulai dari menghitung jumlah hingga memeriksa kondisi asset untuk mengira-ngira umur ekonomisnya (wajar atau tidak), dan selesai sebelum akhir jam kerja (about 4 PM).

Ketika di perjalanan pulang kantor, rasanya ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya tentang asset list tersebut. Tetapi saya belum bisa figure-out what is wrong with the asset list, what is wrong with the physical counts.

Tiba-tiba saya teringat… rasanya ada mobil kanvas (mobil pick-up yang belakangnya di tutup aluminum roof) yang sehari-hari dipakai untuk angkut-angkut barang. Mengapa saya tidak menemukan mobil tersebut di list?

Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah ke tempat parkir untuk memeriksa, saya menemukan sopirnya sedang mencuci mobil tersebut. Saya meminta abang sopir untuk menghidupkan mesin mobil (walaupun saya bukan ahli automotive, saya pikir sedikit banyaknya saya bisa mengira-ngira kondisi mobil), masih sangat bagus dan layak jalan. Sesaat kemudian saya ke bagian personalia dan umum untuk meminjam surat-surat asli mobil tersebut dan saya menemukan semua surat-surat masih berlaku, bahkan baru saja habis di kir (=semacam uji kelayakan muat?), dari BPKB saya menemukan data-data berikut ini:

[-]. Harga beli mobil tersebut adalah Rp 17,000,000 (brand—new dari dealer)
[-]. Ada “Bea Balik Nama” dan lain-lain Rp 1,500,000 (kalau tidak salah)
[-]. Mobil di beli tanggal 04 May 1993

Selanjutnya saya memeriksa saldo buku besar aktiva periode sebelumnya, dan saya menemukan memang benar nilai bukunya sudah nol di akhir periode sebelumnya.

Saya mulai mengira-ngira “what is the most suspicious reason for this un-common?”, “mengapa bisa terjadi seperti itu?”, “apa yang harus saya lakukan?

Setelah berkonsultasi dengan partner yang dulu mengasuh saya di KAP, partner tersebut mengatakan langkah-langkah awal (verification session) yang sudah saya lakukan sudah benar so far, next is to find out thewhy?answer.

Nilai buku nol padahal aktiva tetap masih berfungsi, tentu itu kedaan yang tidak wajar, aneh. Berarti ada yang tidak beres dengan buku aktiva tetap (khususnya mobil tersebut), mengapa terjadi seperti itu?, dimana letak masalahnya?.

Saya mengira-ngira (bahasa ilmiahnya “membuat hipotesa”) dan menulisnya di atas Clip board:

[-]. Salah mengakui harga perolehan?
[-]. Perkiraan umur ekonomis tidak semestinya?
[-]. Salah dalam perhitungan penyusutan?
[-]. Salah membebankan penyusutan, sehingga salah mengakui akumulasi penyusutan?


Untuk memperoleh jawaban dan bisa memastikan atas kemungkinan-kemungkinan di atas, maka dihari kerja berikutnya, saya mulai memeriksa buku aktiva dengan lebih detail:

[1]. Saya membandingkan “Harga Perolehan” antara yang dibuku dengan yang tertera di bukti transaksi (Faktur pembelian mobil & BPKB), dan hasilnya:

* Pengkuan “Harga Perolehan” sudah sesuai yaitu Rp 18,500,000

[2]. Saya memeriksa perkiraan umur ekonomis yang menjadi dasar perhitungan penyusutan di buku aktiva, dan hasilnya:

*Perkiraan “Umur Ekonomis (Life Time)”, sudah sesuai dan wajar untuk mobil yaitu 8 tahun.

[3]. Salah dalam perhitungan penyusutan, di langkah ini memakan waktu yang agak lama, karena saya harus memeriksa rumus perhitungan satu per satu dari awal perolehan sampai akhir (Dari 04 May 1993 sampai dengan 31 Desember 2001).

Dari “Book Asset Details (Rincian Buku Aktiva Tetap)” saya mulai membuat perhitungan penyusutan sendiri agar bisa saya bandingkan dengan perhitungan yang telah dibuat di periode-periode yang lalu, berikut ini adalah perhitungan penyusutan yang saya buat:

Periode 04-May ~ 31-Dec-1993 = 4/12 x [18,500,000] = Rp 770,833
Tahun 1994 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1995 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1996 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1997 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1998 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1999 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 2000 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
---------------------------------------------------------
Accum Deprec, 31/12/2000 = Rp 16,958,333

* Nilai Buku 31 Dec 2000 = Rp 18,500,000 – Rp 16,958,333 = Rp 1,541,667

Perhitungan Tahun 2001:

Penyusutannya adalah Rp 1,541,667
Accum Deprec Rp 18,500,000
Nilai Buku 31 Dec 2001 = Harga Perolehan – Accum Deprec
Nilai Buku 31 Dec 2001 = 18,500,000 – 18,500,000 = 0 (nol)

Dibawah adalah tabel perhitungannya:


* Selanjutnya saya bandingkan hasil perhitungan saya dengan perhitungan yang telah dibuat oleh perusahaan, ternyata hasilnya persis sama, sudah benar.

* Jurnal yang dibuat untuk alokasi beban penyusutan tiap periode dan pengakuan akumulasi penyusutannya pun sudah benar.

No mistakes found…..! fiuhh!

Wahhh……. Everything was correct, so what is next?

Saya memang punya kebiasaan “Insist” (ngotot) dalam mengejar sesuatu, bad habit eh?

Tentu saja saya belum menyerah….. saya terus berpikir “apakah saya perlu konsultasi dengan senior saya?”, “Consult/No?”, “Consult/No?”, “Consult/No?

Akhirnya saya memutuskan untuk tidak konsultasi lagi, dengan dasar pertimbangan:

First: Beliau orang sibuk, tidak enak mengganggu terus (apalagi gratisan trus :P)
Second: Jika begini terus, sampai kapan saya akan bergantung kepada senior.

Saya mulai meng-udak-udak dan membongkar-bongkar buku, mulai dari buku cetakan sampai ke diktat-diktat waktu kuliah dahulu. Thanks Mr. Smith & Mr. Skousen, ketika tiba pada buku “Intermediate Accounting” bukunya Jay M Smith & Fred.K. Skousen (saya lupa tahun terbit-nya). Saya jatuh pada salah satu penjelasan mengenai “Asset Utilization (Penggunaan Aktiva Tetap)”, salah satu paragraph menyebutkan (saya masih ingat persis statementnya):

The Decision whether an asset’s—related—expenditure to be capitalized or not depends on relevancy, materiality & frequent of the expenditures:

* Relevant is a must
* Materiality: when it is material, then it should be capitalized
* Frequent: when it is not a frequent expenditures, then it is most likely a not-maintenance-expense, thus to be capitalized instead
”…. dan seterusnya

Berangkat dari pemikiran itu, pikiran saya mulai terbuka dan menumbuhkan satu pertanyaan:

Mungkinkah ada pengeluaran besar untuk mobil tersebut yang harusnya di kapitalisasi tetapi tidak dikapitalisasi?

Kapitalisasi akan membuat nilai buku bertambah.

Yang jelas, waktu pemeriksaan saya sebelumnya, saya tidak temukan adanya kapitalisasi. Kapitalisasi akan membuat nilai buku bertambah. So it became more-more suspiciously. Saya seperti mendapat energy baru……:-)

Keesokan harinya saya mulai searching…..

Sasaran pertama saya adalah "Maintenance Expenses" di tahun-tahun sebelumnya (dari tahun 1993 sampai dengan 2001), tentu saja saya mulai dari tahun terdekat yaitu tahun 2001….

Sungguh beruntung, transaksi besar langsung saya temukan. Pada tanggal tertentu di bulan September 2001 (saya lupa tanggal persisnya) saya menemukan maintenance expense yang nilainya mencapai Rp 5,700,000, saya bandingkan dengan bukti transaksi, di nota disebutkan ada beberapa spare-part yang diganti, dan jasa turun mesin. Wahhhh…no wonder….!

Saya sudah menemukan apa penyebabnya, pertanyaan berikutnya adalah:

Setelah diketahui penyebabnya adalah karena adanya expenditure di tahun 2001 yang tidak dikapitalisasi, SO WHAT?

Expenditure (pengeluaran atas aktiva yang material, apalagi disertai dengan penggantian spare-part), jelas akan memperpanjang umur aktiva. Sekarang coba kita berpikir “Jika saja pada tahun 2001 tidak dilakukan turun mesin, apakah mobil itu masih berfungsi?”. Jawabannya “tentu tidak”, yang artinya aktiva tersebut tidak akan berfungsi sampai sekarang, karena memang umur ekonomisnya sudah habis.

Artinya, pengeluaran (expenditure) tersebut mestinya “DIKAPITALISASI”.

Ok, tapi kenyataan-nya tidak dikapitalisasi, so what is next?.

Dari buku yang sama, saya mendapat penjelasan, bahwa (jika saya indonesiakan) "kesalahan penggolongan pengeluaran terkait dengan aktiva, yang menyebabkan penarikan aktiva (plant asset retirement) menjadi tidak semestinya sebaiknya dilakukan koreksi pada saat kekeliruan tersebut disadari".

Okay, dikoreksi, bagaimana melakukan koreksi-nya?

Koreksi dilakukan atas: Pengeluaran penggantian spare-part mobil dan turun mesin pada tahun 2001 yang seharusnya dikapitalisasi (dengan mengurangi accum deprec), tetapi terlanjur dibebankan ke dalam maintenance expense, sehingga terjadi over-stated pada rekening maintenance expenses 2001.

Apakah biaya maintenance tersebut harus dibatalkan lalu ditambahkan ke dalam harga perolehan mesin?, bukankah semua buku tahun 2001 telah ditutup?.

Benar, buku tahun 2001 telah ditutup dan tidak mungkin membuat adjustment atau bikin reversal atau re-classification untuk rekening yang telah ditutup, TETAPI KITA BISA MELAKUKAN KOREKSI PADA ACCOUNT YANG BELUM DITUTUP BUKAN?.
Itulah sebabnya mengapa ada “correction journal”, yaitu untuk melakukan koreksi atas suatu transaksi yang telah ditutup buku-nya.

Untuk melakukan koreksi yang benar, kita perlu memahami proses penutupan biaya maintenance (yang Rp 5,700,000 tsb) di akhir periode 2001. Urutan prosesnya seperti ini:

[1]. Biaya maintenance Rp 5,700,000 masuk ke buku besar “Maintenance Expense”
[2]. Maintenance Expense ditutup ke “Laba/Rugi”
[3]. “Laba/Rugi” ditutup ke rekening “Retained Earning” di Neraca

Ujung dari siklus transaksi biaya adalah “Retained Earning”.

Therefore, yang kita koreksi adalah rekening “Retained Earning”. Overstated pada maintenance expense mengakibatkan under-stated pada “Laba 2001”, dan under-stated pada “Laba” secara langsung akan mengakibatkan “Retained Earningunder-stated juga.

Dengan mantaffff saya melakukan koreksi pada buku “Retined Earning” dan “Accum Deprec” dengan jurnal:

[Debit]. Accum Deprec = Rp 5,700,000
[Credit]. Retained Earning = Rp 5,700,000

Catatan: Jurnal di atas akan menambah retained earning, dan mengurangi accum deprec, penurunan accum deprec akan menyebabkan nilai buku aktiva tetap mobil menjadi bertambah Rp 5,700,000.

Langkah selanjutnya adalah meng-alokasi-kan sisa nilai buku aktiva mobil sebesar Rp 5,700,000 pasca—turun—mesin. Critical point-nya disini adalah “ Berapa sisa nilai buku tersebut dialokasikan?” jawabannya tergantung dari berapa umur ekonomis bertambah atas penambahan spare-part dan turun mesin tersebut?.

Saat itu, saya memperkirakan mobil masih bisa beroperasi hingga 2 tahun ke depan, therefore saya mengalokasikan biaya penyusutan untuk tahun 2001 sebagai berikut:

September – 31 Desember 2001: 4/12 x [Rp 5,700,000/2] = Rp 950,000

Karena ini untuk alokasi tahun 2001 (bukunya sudah ditutup), maka yang dikoreksi adalah rekening “Retained Eraning” sekali lagi, dengan jurnal:

[Debit]. Retained Earning = Rp 950,000
[Credit]. Accum Deprec = Rp 950,000

Catatan: Jurnal diatas menyebabkan retained earning berkurang Rp 950,000 dan accum deprec mobil bertambah Rp 950,000 juga (which decreased the asset book value as well at the same amount, Rp 950,000).

Setelah semua proses koreksi tersebut, saya memperoleh nilai buku atas mobil sebesar Rp 5,700,000 – Rp 950,000 = Rp 4,750,000

Catatan: Sebelum koreksi saya lakukan, saya melaporkan kasus tersebut kepada CFO perusahaan di luar negeri sana (karena memang perusahaan asing). Dan, semua langkah koreksi yang akan saya lakukan mendapat 101% support dari dia.

Hasil jerih payah tersebut sungguh setimpal dengan hasil yang saya peroleh, baik yang bersifat non-monetary maupun monetary. Dan pengalaman itu membuat saya semakain mencintai dunia accounting sampai saat ini.


Ada AKTIVA TETAP BERNILAI BUKU NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI?, jika anda pikir okay, you may like to follow my way.

Apr 8, 2008

HARGA POKOK PENJUALAN (COGS) – Usaha Dagang (Trading)

Sekarang kita memasuki Harga Pokok Penjulana (COGS) untuk Usaha Dagang (Trading). Di artikel ini akan dibahas mengenai alur, jurnal, perhitungan, dan pelaporan Harga Pokok Penjualan (COGS). Inventory Valuation akan menjadi salah satu topic penting. Kajian perpajakan terkait dengan COGS akan menjadi penutup artikel ini.


Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya: Harga Pokok Penjualan (COGS) – Basic, bahwa untuk usah dagang (trading), entah itu wholesaler maupun retailer, perhitungan harga pokok penjualannya lebih sederhana dibandingkan dengan usaha manufaktur (Industry), namun demikian usaha dagang memiliki characteristic yang khas, antara lain :

[-]. Tidak menggunakan mesin produksi, oleh karenanya tidak akan ada depreciation cost atas mesin. Mungkin ada depreciation cost atas peralatan. Misal : peralatan vacuum untuk packing.

[-]. Tidak ada Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), jikapun ada tenaga kerja yang terlibat dalam membawa barang tersebut menjadi siap untuk dijual, cost-nya sulit untuk dialokasikan sebagai Upah Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), oleh karenanya upah tenaga kerja seperti ini biasanya dibebankan sebagai bagian dari “Overhead Cost” i.e.: Ongkos packing.

[-]. Cost perusahaan dagang siklusnya lebih pendek.

[-]. Menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan dagang yang menjual barang yang relative sama dalam jenis, ukuran dan kwalitas, oleh karenanya diperlukan penerapan methode tertentu untuk menilai barang persediaannya (Inventory Valuation) yang tentunya juga akan berpengaruh langsung terhadap pembebanan inventory cost-nya.


Struktur Harga Pokok Penjualan (COGS) Usaha Dagang

Harga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang (Inventory ) dan Overhead saja.

A. Inventory :

Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya yang dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah dengan pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode (Saldo Akhir = Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan.

Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:

A.1. Opening Balance

A.2. Purchase:
A.2.a. Purchase
A.2.b. Freight In
A.2.c. Discount
A.2.d. Return

A.3. Sales

A.4. Closing Balance


B. Overhead:

Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa muncul pada usaha dagang:

B.1. Packing
B.2. Warehousing
B.3. Freight Out

Akumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.

Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.


Alur, Siklus Transaksi dan Jurnalnya

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari kelompok besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.

Alur dan siklus Transaksi Inventory Cost:

Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo awal (Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus] Transaksi Credit), yang pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir (Closing Balance).

Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory juga berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:

Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.

Jurnalnya:

[Debit]. Inventory à Menambah saldo inventory di Neraca
[Credit]. Cash / Utang à Mengurangi saldo Kas di Neraca

Dan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat terjadi penjualan inilah Inventory Cost diakui:

Jurnalnya:

[Debit]. Cost of Goods Sold à Menambah Saldo COGS di Laba Rugi
[Credit]. Inventory à Mengurangi saldo Inventory di Neraca

Catatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba adalah element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya laba pada pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.

Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang sama

Jurnalnya:

[Debit]. Cash/Piutang à Menambah Saldo Cash atau Piutang di Neraca
[Credit]. Sales à Menambah saldo penjualan di Laba Rugi

Catatan: Sales adalah revenue yang akan menjadi faktor penambah Laba, Laba adalah element Neraca. Berkurangnya Cash/Piutang pada aktiva di seimbangkan oleh bertambahnya laba pada pasiva.

Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan menjadi seperti dibawah ini:



Perhitungan COGS Usaha Dagang

Perhitungan Harga Pokok Penjualan usaha dagang sederhana saja :

HPP (COGS) = Inventory Cost + Overhead

Inventory Cost :

Opening Balance + Purchase - Closing Balance

Purchase:

Purchase + Freight In – Discount - Return


Case:

UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki persediaan kain dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa melayani semua pesanan dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp 48,000,000 ditambah ongkos kirim sebanyak Rp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih berhasil melakukan penjualan sebesar Rp 65,000,000. pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp 500,000. Setelah dihitung fisik kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.

Problems:

[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?
[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?


Solving:

[1]. Harga Pokok Penjualan:

HPP = Inventory Cost + Overhead

Inventory Cost = Opening Balance + Purchase – Closing Balance
Inventory Cost = 1,000,000 + (48,000,000+1,000,000) – 300,000
Inventory Cost = 49,700,000

Overhead Cost :
Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetap
Apakah PAM termasuk? Tidak
Sewa Toko termasuk? Tidak
Gaji pegawai toko termasuk? Tidak
Ongkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000

Overhead Cost = Rp 500,000

Harga Pokok Penjualan = Rp 49,700,000 + 500,000 = Rp 50,200,000

[2]. Laba Kotor : Sales – Harga Pokok Penjualan

Laba Kotor = Rp 65,000,000 – 50,200,000 = Rp 14,800,000,-

Mudah bukan?

Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.

Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas diperoleh?. Ini kuncinya!


Inventory Valuation & Penentuan COGS

Menilai persediaan barang gampang-gampang susah.

Gampangnya?

Kalau barang tersebut sifatnya unique (berbeda antara barang yang satu dengan yang lainnya, dari: harganya, ukuran, kwalitas, warna, unit price) tentu mudah untuk kita manage, apalagi jika barangnya sedikit. Tinggal pasang sticker/hanging tag pada masing-masing barang (per batch), isi specification & unit price di masing-masing sticker. Trus di akhir periode lakukan PHYSICAL COUNT…. Bang ! dapat sudah. Itu namanya menggunakan PHYSICAL COUNT METHOD.

Susahnya?

Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk sama, ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari periode ke periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya. Bagaimana menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan Inventory Cost-nya?. Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa inventory costnya. Tetapi kadang-kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per biji?.

Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai persediaan di akhir periode nanti, yaitu:

[1]. Average Method
[2]. FIFO Method
[3]. LIFO Method


Case:

UD. Cahaya Murni adalah toko yang menjual gula tebu. Pada tanggal 01 Maret diketahui Jumlah persediaan sebanyak 100 Kg, dengan nilai Rp 300,000. Dan dari buku catatan nampak transaksi seperti dibawah ini:

Jika kita summarize maka menjadi:

Problem:

Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?

Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan menggunakan 3 methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode di atas:


[1]. Metode Rata-rata (Average Method)

Harga Pokok (Inventory Cost) Barang yang terjual per unit-nya ditentukan dengan menjumlahkan saldo awal dengan nilai pembelian, lalu dibagi dengan Quantity saldo akhir ditambah dengan Quantity barang yang dibeli. Formulasinya:

HPP/Unit = (Rp Saldo awal + Rp Pembelian) : (Qty Saldo Awal + Qty pembelian)

Total HPP terjual = HPP/Unit x Qty terjual

Saldo Akhir = Saldo Awal + Pembelian - Penjualan

Pada contoh kasus di atas:

HPP/Unit penjualan 01-Mar:

HPP/Unit = (Rp 300,000+0) : (100+0)
HPP/Unit = Rp 300,000 : 100 = Rp 3,000,-

Total HPP terjual = Rp 3,000 x 40 = Rp 120,000

Saldo Akhir = Rp 300,000 + 0 – 120,000 = Rp 180,000

Demikian setrusnya hingga akhir periode.

Jika saya teruskan semua transaksi maka tabelnya akan seperti dibawah ini:

Catatan : Perhatikan summary
COGS = Rp 396,565
Closing Balance = Rp 206,435

Kita uji dengan rumus:
Closing Balance = Opening Balance + Purchase - COGS
Closing Balance = 300,000 + 303,000 - 396,565
Closing Balance = Rp 206,435,-


[2]. FIFO Method

FIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual terlebih dahulu.

Transaksi 1 Maret:
Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg menggunakan unit cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000
Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000
Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000

Transaksi 10 Mar:
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price sebelumnya tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:
60 kg menggunakan unit price Rp 3,000
5 kg menggunakan unit price Rp 3,100

Total HPP 10 Maret:
60 x 3,000 = 180,000
5 x 3,100 = 15,500
----------------------- (+)
Total HPP = 195,500,-

Jika dimasukkan ke dalam table maka akan menjadi seperti dibawah ini:


Catatan : Perhatikan juga summary
Jika mau uji, silahkan gunakan formula COGS seperti yang saya lakukan di average method.


[3]. LIFO Method

LIFO stand for “Last In First Out”. Maksudnya “Barang yang masuk belakangan dijual terlebih dahulu”. Kedengarannya aneh. Memang aneh karena cara ini akan membuat HPP menjadi tidak realistic. Pikirkan, cost yang dibebankan menggunakan cost dari pembelian terakhir, tanpa memperhitungkan adanya kemungkinan barang yang terjual tercampur antara persediaan yang menggunakan harga lama ditambah dengan barang baru dengan harga baru. Di negara luar (misalnya USA) methode ini sangat tidak dianjurkan, bahkan dianggap praktek illegal, jikapun ada yang mengguanakan methode ini, maka akan diawasi sangat ketat oleh pemerintahnya.

Ok, kita coba hitung dengan methode ini seperti apa hasilnya?

Transaksi tanggal 01 maret bisa kita ketahui hasilnya akan sama dengan methode yang lainnya, so tidak perlu kita coba.

Langsung ke transaksi tanggal 10 Maret:

Saldo awal 60 kg dengan unit cost 3,000
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?

Sesuai konsepnya: Last In First Out, maka:
30 kg x Rp 3,100 = 93,000
35 kg x Rp 3,000 = 105,000
---------------------------- (+)
Total HPP = 198,000,-


Tabelnya menjadi seperti ini:

Catatan: Perhatikan juga summary-nya


Kesimpulan :

Menggunakan masing-masing method di atas hasilnya (perhatikan summary di masing-masing tabel):

Opening Balance tetap sama :
Qty = 100 kg, Rp 300,000

Purchase tetap sama :
Qty = 95 kg, Rp 303,000

COGS quantity sama 135 kg, tapi value-nya berbeda:
Average = 396,565
FIFO = 393,000
LIFO = 398,000

Closing Balance, Qty sama 65 kg, tetapi value berbeda-beda:
Average = 206,435
FIFO = 210,000
LIFO = 205,000


Kajian Perpajakan

COGS atau Harga Pokok Penjualan adalah vital dalam perhitungan pajak, tinggi rendahnya PPh sangat dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan. Untuk nilai penjualan yang sama, semakin tinggi Harga Pokok Penjualannya, maka semakin rendahlah labanya, sudah tentu pajaknya juga akan makin rendah, and vice versa.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:

[1]. Freight: freight adalah elemen COGS, pengakuan biaya freight harus sesuai.

[2]. Discount & Return atas pembelian :

Perhitungkanlah discount dengan semestinya. Lupa memperhitungkan discount akan mengakibatkan pembebanan COGS menjadi lebih besar dari yang seharusnya, jika tidak ketahuan oleh Ditjend pajak, tentu itu bagus, artinya COGS lebih tinggi, artinya laba lebih rendah, pajak lebih rendah. Tetapi jika ketahuan, maka ini akan menjadi koreksi saat pemeriksaan.


[3]. Metode Penentuan HPP & Inventory Valuation.

Jika kita perhatikan dari kesimpulan di atas, jelas bisa kita lihat bahwa menggunakan LIFO method akan menghasilkan COGS paling tinggi. Mengapa? Karena trend harga pembelian terus meningkat. Ingat konsep LIFO, unit cost yang dipakai sebagai dasar penghitung HPP adalah harga pembelian yang the most recent (terkini?). Kita tahu di negara kita tercinta ini Inflasi cenderung meningkat dari bulan ke bulan and tahun ke tahun. Kejadian harga turun adalah langka. Menggunakan LIFO method akan menghasilkan PPh paling rendah!

COGS tertinggi berikutnya adalah “Average Method, hampir mendekati LIFO, hanya saja value yang diambil adalah nilai tengahnya.

FIFO, adalah yang paling rendah COGS-nya. Sekaligus yang paling realistic.

Apakah anda akan beralih ke LIFO?

Apapun methode yang anda gunakan boleh saja, sepanjang anda terapkan secara CONSITANT.

Apakah masih mau memakai LIFO? Untuk mengurangi PPh? Mau?.


Reveal this (anggap ini PR)!!!:

Menggunakan LIFO, disatu sisi COGS anda saat ini akan menjadi tinggi, so anggaplah PPH menjadi lebih rendah dibandingkan 2 method lainnya. Ingat formula COGS?

COGS = Saldo Awal + Purchase – Saldo Akhir

Saldo Akhir periode lalu adalah saldo awal periode sekarang, so….?
Saldo Akhir periode sekarang adalah saldo awal periode yang akan datang bukan?.

Jika COGS periode sekarang lebih tinggi, maka saldo akhir akan menjadi lebih rendah bukan?, then? Artinya saldo awal periode yang akan datang menjadi lebih rendah dari yang seharusnya bukan?. Untuk purchase yang sama, COGS yang sama, tetapi saldo awalnya lebih rendah dari yang seharusnya, apakah yang akan terjadi?, COGS jadi lebih rendah juga!. So? COGS sekarang memang lebih tinggi, tetapi tahun depan?. Lebih rendah dari yang seharusnya bukan? Bukan? Perlu pengujian yang lebih jauh dan detail. Ada yang berminat untuk mengotak-atiknya selepas kerja? Daripada nonton sinetron… :P

Okay, kalau saya ada cukup waktu PASTI akan saya uji lebih jauh tentang hal ini.

Have a bright day!

Silahkan baca lanjutan serie HARGA POKOK PENJUALAN (COGS) di artikel saya berikutnya, yaitu : Harga Pokok Produksi - COGS

Apr 6, 2008

Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) – Basic

Sebagai pengantar pembahasan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) kita akan mulai dasar-dasarnya terlebih dahulu, gambaran umum mengenai Harga Pokok Penjualan. Dengan pengetahuan dasar ini, saya berharap anda bisa memperoleh fundament yang cukup untuk melangkah ke pembahasan dan kasus yang lebih berkembang. Sehingga di akhir serie nanti anda bisa mendapatkan gambaran yang utuh dan penuh mengenai Harga Pokok Penjualan dan Harga Pokok Produksi. Sehingga tidak akan pernah bingung lagi walau dibolak balik bagaimanapun juga kasus-nya, berhadapan dengan jenis usaha apapun, dengan elemen cost yang bermacam-macam, anda akan tetap bisa memperlakukannya dengan benar dan akurat.


Difinisi Dasar Harga Pokok Penjualan

Pada dasarnya Harga Pokok Penjualan (istilah yang dipakai IAI) adalah segala cost yang timbul dalam rangka membuat suatu produk menjadi siap untuk dijual. Atau dengan kalimat lain, Harga Pokok penjualan adalah cost yang terlibat dalam proses pembuatan barang atau yang bisa dihubungkan langsung dengan proses yang membawa barang dagangan siap untuk dijual.


Struktur Harga Pokok Penjualan

Dengan difinisi di atas, dapat kita peroleh struktur dasar harga pokok penjualan. Harga pokok Penjualan pada dasarnya terdiri dari dari 3 (tiga) element besar saja:

[-]. Persediaan (Inventory)
[-]. Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)
[-]. Overhead Cost


Persediaan

Untuk peruhaan dagang, elemen persediaan hanya terdiri dari “Persediaan Barang Jadi” saja, atau yang dikenal dengan “Inventory”.

Sedangkan perusahaan manufaktur persediaannya terdiri dari:

[-]. Persediaan Bahan Baku (Raw Materials)
[-]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP = Work In Pocess)
[-]. Persediaan Barang Jadi (Inventory)

Elemen “Persediaan” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah besarnya “Persediaan Terjual”. Dan untuk mengetahui nilai persediaan yang terjual maka perlu mengetahui unsur-unsur dibawah ini terlebih dahulu :

[-]. Persediaan Awal
[-]. Pembelian (Untuk perusahaan dagang)
[-]. Harga Pokok Produksi (Untuk perusahaan manufaktur)
[-]. Persediaan Akhir
[-]. Persediaan digunakan (IAI menyebutnya “Barang Tersedia Untuk Dijual”)

Persediaan Awal:
Adalah besarnya (nilai) persediaan yang sudah kita miliki sebelum proses di periode ini dimulai. Artinya, persediaan tersebut telah ada sebelum aktivitas periode ini dimulai.

Pembeliaan:
Jangan lupa yang kita akui adalah “cost yang terjadi”, sehingga besarnya nilai pembelian yang kita akui hanya sebesar cost yang timbul saja, yang diwujudkan dengan “Pengeluaran Kas (cash disbursement)” atau pengakuan “Utang Dagang”. Sehingga nilai pembelian yang kita akui adalah sebesar nilai bersihnya (net purchase) saja. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam praktek bisnis, seringkali sebagai perusahaan sebagai pembeli, baik itu pembelian barang jadi (untuk perusahaan dagang) maupun pembelian bahan baku (perusahaan manufaktur) memperoleh potongan harga (discount), bisa juga terjadi pengembalian barang kepada pihak penjual (Return). Untuk memperoleh nilai net purchase, maka kita perlu struktur menjadi:
[-]. Gross Purchase (biasa ditulis “Purchase” saja)
[-]. Discount
[-]. Return
[-]. Net Purchase


Persediaan Akhir:
Adalah besarnya persediaan yang kita bukukan sebagai “persediaan” diakhir periode.

Persediaan Digunakan/Terjual (Persediaaan Tersedia Untuk Dijual):
Adalah besarnya persediaan:
[-]. Barang dagangan yang terjual (untuk perusahaan dagang)
[-]. Besarnya Bahan Baku yang digunakan & barang dagangan yang terjual (untuk
perusahaan manufaktur).


Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)

Direct Labor Cost adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang langsung terlibat pada proses pengolahan barang dagangan. Dikatakan Direct Labor Cost hanya jika besarnya upah yang dibayarkan tergantung pada jumlah output product yang dihasilkan.

Yang termasuk ke dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dibayar berdasarkan: “Upah Satuan” atau “Upah Harian/Jam”.

Dalam hal tenaga kerja dibayar dengan upah satuan, tentu dengan jelas bisa kita lihat bahwa upah tenaga kerja tersebut dapat dibebankan langsung pada product yang dihasilkan.

Jika upah yang dibayarkan berdasarkan jumlah jam kerja, maka biasanya perusahaan telah menentukan jumlah (satuan) yang harus dihasilkan untuk tengang waktu tertentu (per jam atau perhari). Sehingga pada akhir perhitungan, dapat diketahui berapa direct labor cost yang akan di bebankan untuk 1 satu unit product, dan total direct labor cost untuk akumulasi product yang dihasilkan.

Pada perusahaan pedagang kecil (small wholesaler atau retailer), direct labor cost sulit untuk bisa di alokasikan dengan semestinya. Sehingga Direct Labor Cost hanya bisa kita temukan pada perusahaan-perusahaan manufaktur atau pertambangan.


Overhead Cost

Adalah cost yang timbul selain dari ketiga kedua elemen tersebut diatas, yang biasanya disebut dengan indirect cost, jenisnya tentu saja bervariasi, tergantung jenis usaha, sekala usaha dan jenis sumberdaya yang dipakai oleh perusahaan. Yang jamak kita temui pada usaha manufaktur atau dagang adalah :

[-]. Sewa (Rental Cost)
[-]. Penyusutan Mesin & Peralatan (Depreciation on Machineries & Equipment)
[-]. Penyusutan Bangunan Pabrik (Factory’s Building Depreciation)
[-]. Listrik, Air untuk pabrik (Factory’s Utilities)
[-]. Pemeliharaan Pabrik & mesin (Factory & Machineries Maintenance)
[-]. Pengemasan (Packaging/Bottling & labor cost-nya)
[-]. Gudang (Warehousing Cost)
[-]. Sample produksi (Pre-production sampling)
[-]. Ongkos kirim (Inbound & Outbound deliveries)
[-]. Container (Continer)


Siklus dan Alur Jurnal Harga Pokok Penjualan

Inventory

Inventory (yang tercantum di dalam neraca pada periode sebelumnya), akan menjadi persediaan awal pada periode sekarang (current period). Jika persediaan tersebut terjual pada periode ini, maka persediaan tersebut di biayakan (expensed) dan diakui sebagai Harga Pokok Penjualan.

Proses pembebanan inventory dilakukan pada saat barang terjual (diserahkan) dengan jurnal:

[Debit]. Harga Pokok Penjualan (Inventory terjual)
[Credit]. Inventory

Catatan: untuk membebankan inventory terjual ke dalam harga pokok penjualan, jurnal di atas:
Sisi debit akan menambah harga pokok penjualan pada laporan laba rugi
Sisi kredit akan mengurangi nilai inventory pada neraca di akhir periode nanti

Jurnal tersebut berpasangan dengan:

[Debit]. Kas (atau piutang)
[Credit]. Penjualan
Catatan: untuk mengakui penjualan dan piutang (penerimaan kas) di periode tersebut

Jika pada periode yang sama terjadi penambahan inventory akibat pembelian barang dagangan, maka pembelian tersebut akan menambah nilai persediaan barang dagangan (inventory), atas pembelian tersebut di jurnal dengan:

[Debit]. Inventory
[Credit]. Cash (atau Utang Dagang)

Catatan: Jurnal diatas:
Sisi debit akan menambah nilai inventory pada neraca
Sisi kredit akan mengurangi kas atau menambah utang dagang pada neraca

Selanjutnya jika sebagaian dari barang tersebut laku terjual maka bagian yang laku terjual tersebut akan dibebankan ke dalam harga pokok penjualan seperti pada alur pertama tadi, dengan jurnal yang sama (tentu saja dengan nilai yang sesuai)


Work In Process & Raw Material

Untuk perusahaan manufaktur, disamping persediaan barang jadi, juga terdapat persediaan barang dalam proses (work in process) dan persediaan bahan baku.

Persediaan barang dalam proses & bahan baku pada neraca periode sebelumnya akan menjadi persediaan awal pada periode berjalan. Jika terpakai dalam proses produksi periode berjalan maka persediaan yang terpakai dibebankan ke dalam harga pokok penjualan dengan jurnal :

Untuk Bahan Baku:

[Debit]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP-Raw Material)
[Credit]. Persediaan Bahan Baku (Raw Material)

Untuk Barang dalam proses:

[Debit]. Inventory
[Credit]. Persediaan Barang Dalam Proses


Jika terjadi pembelian bahan baku, maka nilai pembelian tersebut akan menambah persediaan bahan baku pada neraca, atas pembelian bahan baku tersebut di jurnal:

[Debit]. Bahan Baku (Raw Material)
[Credit]. Cash (Utang Dagang)

Selanjutnya jika sebagian dari bahan baku yang dibeli tersebut dipakai, maka dilakukan penjurnalan seperti saat pembebanan persediaan bahan baku ke dalam Persediaan Work In Process di atas.


Direct Labor Cost & Over Head Cost

Direct Labor Cost aiakumulasikan dengan Raw Material Usage dan Work In Process Usage akan menghasilkan HARGA POKOK PRODUKSI, selanjutnya Harga Pokok Produksi dan Inventory akan membentuk Harga Pokok Penjualan.



Perhitungan Dasar Harga Pokok Penjualan

Jika kita buatkan formulasi dasar maka perhitungan Harga Pokok Penjualan dapat dirumuskan dengan:

HPP = Inventory Usage + Direct Labour Cost + Overhead Cost


Inventory Usage dapat kita turunkan menjadi :

Saldo Awal(+)Pembelian atau Penambahan(–)Saldo Akhir

Pembelian itu sendiri dapat kita turunkan menjadi:

Purchase atau invoice (-) Discount (-) Return



Format Pelaporan Harga Pokok Penjualan

Dengan Struktur, Alur dan perhitungan Harga Pokok Penjualan seperti di atas, maka format laporan harga pokok penjualan dapat kita construct. Hanya saja, contoh bentuk laporan akan saya berikan pada session berikutnya.

Lanjutkan! :

Harga Pokok Penjualan Untuk Perusahaan Dagang
Harga Pokok Penjualan Untuk Manufacturer
pada posting saya berikutnya.

Disana akan saya berikan penjelasan struktur, alur jurnal dan perhitungan disertai dengan contoh kasusnya. Juga akan saya tampilkan contoh struktur laporannya yang comprehensive, tidak ketinggalan bahas kajian perpajakannya.

HARGA POKOK PENJUALAN (COGS) & HARGA POKOK PRODUKSI

Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai: Harga Pokok Penjualan (COGS) dan Harga Pokok Produksi, mulai dari definisi, struktur, siklus dan penghitungan, keterkaitan diantara keduanya, sampai pada kajian perpajakannya. Seperti biasa, akan saya lengkapi dengan study kasus, contoh perhitungan, prosedur penjurnalan, hingga membuat laporannya. Artikel ini saya angkat demi menjawab masih begitu banyaknya rekan-rekan yang belum memahami apa itu harga pokok penjualan dan harga pokok produksi, bahkan cenderung tercampur-aduk hingga tidak memperoleh essensi-nya.

Sebelum menulis artikel ini tentu saja saya melakukan re-search kecil-kecilan mulai dari forum-forum, situs, hingga online digital library uni-ni terkenal (Royal Melbourne, Exford, Queensland University, NUS, Petra, ITB, UI, UKI, dan lain-lain). Sayang sekali sungguh sedikit data dan informasi yang ter-kompliasi dengan utuh. Entah karena keterbatasan space, atau alasan lain. Kompilasi yang lengkap hanya bisa diperoleh dengan menghubungi pihak library.

Terdorong keinginan untuk bisa berbagi pengetahuan dengan rekan-rekan secara murah, mudah dan efektif, maka saya menulis artikel ini. Tentu saja dengan segala keterbatasan yang ada. Saya berharap ini akan menjadi salah satu jawaban bagi masalah yang mungkin anda hadapi dalam pekerjaan.

Struktur, alur, perhitungan maupun pelaporan Harga Pokok Penjualan variatif antara satu jenis usaha dengan jenis usaha yang lain, untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan utuh, artikel ini akan saya bahas menjadi beberapa tahap, mudah-mudahan bisa menjadi tiga session saja:


Part-1: Harga Pokok Penjualan (COGS) – The Basic
[-]. Difinisi Dasar
[-]. Struktur Dasar
[-]. Siklus Dasar
[-]. Perhitungan Dasar
[-]. Pelaporan

Part-2: Harga Pokok Penjualan Pada Perusahaan Dagang
[-]. Struktur-nya (The Structure)
[-]. Alur & Siklus-nya (The allure & Cycle)
[-]. Mengukur Nilai Persediaan (Inventory Valuation)
[-]. Perhitungan-nya (The Calculation)
[-]. Study Kasus (Case Study)
[-]. Kajian Perpajakannya

Part-3: Harga Pokok Penjualan Pada Perusahaan Manufaktur
[-]. Harga Pokok Produksi (Production Cost)
[-]. Struktur-nya (Structure)
[-]. Alur & Siklus-nya (Allure & Cycle)
[-]. Perhitungan-nya (The Calculation)
[-]. Study Kasus (Case Study)
[-]. Kajian Perpajakannya

Sebagai pembukaan kita langsung masuk ke Harga Pokok Penjualan (COGS) - basic....... silahkan ikuti....

Mar 29, 2008

Break Even Point 3 – Sales Mixed

Dalam Break Even Point (BEP) Analysis – Part 2 kita sudah ber-experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales, saya pikir itu sudah memberikan basic knowledge yang cukup tentang bagaimana mengaplikasikan analysis tool ini ke dalam real business (read:production) practice. Sekarang di Break Even Point (BEP) Analysis – Part 3 kita akan ber-experiment mengenai bagaimana mengaplikasikan BEP analysis untuk “PRODUCT MIXED” atau di Indonesia dikenal dengan “PRODUK BAURAN”, mungkin rekan-rekan di bagian marketing lebih suka menyebutnya sebagai “SALES MIXED”. Yet, saya juga akan mencoba mengaplikasikan analisis ini untuk membidik target profit tertentu.


Sebelum masuk ke contoh kasus dan analysis-nya kita harus berbicara mengenai CONTRIBUTION MARGIN terlebih dahulu. Apa itu Contribution Margin? Here we go…..


Contribution Margin (CM)

Secara sederhana “Contribution Margin” adalah jumlah Rupiah (or any currencies) yang tersisa setelah “Variable Cost” terbayar. Contribution Margin ini nantinya akan dipergunakan untuk menutup “Fixed Cost”. Jika Contribution Margin sama dengan besarnya Fixed Cost, maka kondisi Break Even sudah tercapai, dan untuk setiap selisih lebihnya adalah “Profit”.

Rekan-rekan di Akuntansi Keuangan yang biasa bergelut dengan Profit & Lost Statement, mungkin lebih mengenal ini sebagai Laba Kotor (Gross Profit), yang di dapat dengan cara mengurangkan “Revenue” dengan “Cost of Good Sold”, yang jika dikurangkan lagi dengan Operating Expenses maka akan memperoleh Earning Before Interest & Tax (EBIT). Okay that is enough, supaya tidak ngelantur ke akuntansi keuangan, kita kembali ke topic utama…..

Dari definisi diatas, maka equation (persamaan?) untuk Contribution Margin adalah:

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost

Jika “Revenue” sepenuhnya berasal dari “Sales” (R=S) maka persamaan Contribution Margin di atas akan menjadi:

CM = Revenue –Variable Cost

Masih ingat bagaimana equation untuk Break Even Point?

Revenue – Variable Cost – Fixed Cost = 0

Jika Contribution Margin kita masukkan, maka kita akan memperoleh equation Break Even Point seperti ini:

Contribution Margin – Fixed Cost = 0


Untuk bisa menganalisa volume (Quantity) maka kita perlu mengetahui UNIT CONTRIBUTION MARGIN.

Contribution Margin = [Unit Price x Quantity] – Variable Cost

Unit Contribution Margin = Unit Price – Unit Variable Cost


Penerapan Break Even Point Untuk Product Mixed

Masih ingat dengan kasusnya Pak Lie (PT. Royal Bali Apparel) di BEP Analysis – Part 2?.

Berproduksi (kemudian berjualan) satu jenis product saja? Seems to be not a good idea (a-b-g biasa bilang “Cape deeehh” :-)). Tindakan seperti itu sama saja dengan mempersempit jalan, menutup peluang, atau yang sejenisnya. Sangat tidak dianjurkan oleh ahli manapun. Di masa high spinning tight competition market seperti saat ini. Se-revolution apapun marketing strategy yang diterapkan, jika yang ditawarkan hanya satu macam product dan satu type saja saja, rasanya hasilnya tetap tidak sebagus jika product range yang ditawarkan lebih beraneka ragam.

Khususnya untuk perusahaan yang baru mencoba (read: merintis) usaha manufactur maupun dagang, devoting all energy and effort untuk satu macam (1 type) product saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Perlu “Product Diversification”. Perlu men-develop banyak product untuk mengetahui product unggulan yang paling cocok untuk dikembangkan.

Board member PT. Royal Bali Apparel sangat menyadari hal tersebut, untuk itu dibulan-bulan berikutnya PT. Royal Bali Apparel berencana untuk memproduksi 2 macam product lagi disamping blouse yang memang sudah di produksi. Adapaun 2 macam product lain yang akan dikembangkan adalah “Skirt” & “Trouser, sehingga semuanya menjadi 3 products, yaitu:

[-]. Blouse (baju atasan perempuan memakai lengan & krah?)
[-]. Skirt (rok bawahan?)
[-]. Trouser (celana panjang?)

Untuk maksud tersebut PT. Royal Bali Apparel telah menambah mesin dan peralatan produksi termasuk merekrut staff yang lebih banyak lagi, sehingga budget yang dialokasikan menjadi sebagai berikut:


Adapun unit price yang akan dipasang pada masing-masing product tersebut adalah sebagai berikut:

Dari production plan diperoleh data sebagai berikut:


Selanjutnya data ini kita perhitungkan sebagai “Variable Cost”, sedangkan total cost untuk tiap jenis productnya adalah “Unit Variable Cost”.


Dari data di atas, persoalannya adalah:



“Berapa banyak (volume) product yang harus diproduksi dan dijual oleh perusahaan, dan berapa jumlah untuk masing-masing jenis produk tersebut harus terjual agar perusahaan mencapai break even dalam satu bulan?”

Masih ingat langkah-langkah yang perlu kita lakukan untuk menganalisa single product?, untuk MIXED PRODUCT berlaku langkah yang sama, hanya saja perlu mendeterminasi Unit Contribution Margin (untuk penyederhanaan analisa) dan melakukan pembebanan masing-masing Unit Contribution Margin ke dalam product masing-masing. Detail langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:


Step-1: Determinasi Fixed Cost

Dari data di atas kita bisa hitung tentukan besarnya “Fixed Cost”. Dengan mengalokasikan semua harga perolehan aktiva menjadi beban penyusutan per bulan, serta membebankan monthly expense-nya. Maka kita akan memperoleh Fixed Cost seperti dibawah ini:



Kita peroleh besarnya “Fixed Cost” yang dibebankan sebulan adalah Rp 94,020,833,-


Step-2: Determinasi Variable Cost & Unit Variable Cost

Dari table di atas kita peroleh besarnya "Variable Cost" Rp 168,250,- dengan masing-masing “Unit Variable Cost” sebagai berikut:

Blouse = Rp 45,750,-
Skirt = Rp 47,500 ,-
Trouser = Rp 75,000,-


Step-3: Determinasi Contribution Margin & Unit Contribution Margin

Masih ingat equation untuk Contribution Margin?

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost

Total Unit Sales” untuk seluruh product sudah kita ketahui (lihat tabel unit price) sebesar Rp 325,000,- dan “Total Unit Variable Cost” sudah kita peroleh di step-2 di atas sebesar Rp 168,250,- maka “Contribution Margin” dapat kita hitung dengan menggunakan equation (persamaan) di atas:

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost
Contribution Margin (CM) = Rp 325,000 – Rp 168,250
Contribution Margin (CM) = Rp 156,000

Sedangkan Unit Contribution Margin dapat kita hitung dengan mem-pro-rate-kan Contribution Margin diatas dengan perbandingan unit price yang di set di awal:

Perbandingan Unit Price:

[Blouse] ; [Skirt] ; [Trouser] = [Sales Mixed]
[80,000] ; [95,000] ; [150,000] = [325,000]

Selanjutnya kita hitung rate-nya:
Blouse = [80,000/325,000] x 100% = 25%
Skirt = [95,000/325,000] x 100% = 29%
Trouser = [150,000/325,000] x 100% = 46%
---------------------------------------------- (+)
Total = 100%

Dari rate di atas, maka Contribution Margin dapat kita pro-rate-kan ke masing-masing jenis product menjadi “Unit Contribution Margin” sebagai berikut:

Unit CM Blouse = 25% x Rp 156,000 = Rp 34,250,-
Unit CM Skirt = 29% x Rp 156,000 = Rp 47,500,-
Unit CM Trouser = 46% x Rp 156,000 = Rp 75,000,-
---------------------------------------------------- (+)
Total Unit CM = Rp 156,000,-


Step-4: Pembebanaan Unit Contribution Margin (Weighting Unit Contribution Margin).

Beban Unit Contribution Margin dapat dihitung dengan cara mengalikan masing-masing unit contribution margin dengan rate dia pada langkah ke-3 di atas:

Blouse = Rp 34,250 x 25% = Rp 8,431,-
Skirt = Rp 47,500 x 29% = Rp 13,885,-
Trouser = Rp 75,000 x 46% = Rp 34,615,-
------------------------------------------------------ (+)
Beban Unit Contribution Margin = Rp 56,931,-


Step-5: Menentukan Volume Produksi & Sales

Ini adalah langkah terakhir untuk menjawab persoalan “Berapa banyaknya product yang harus dijual dalam satu bulan agar perusahaan mencapai Break Even Point” dan "berapa banyaknya untuk masing-masing jenis product?

Sampai sejauh ini, kita baru berbicara mengenai “Unit Sales/Unit Price” dan “Unit Variable Cost” saja. Kita sudah tahu bahwa untuk mencapai break even point perusahaan harus mampu mengahailkan (to generate revenue) untuk menutup Variable Cost dan Fixed Cost. Lalu kapan “Fixed Cost” dicover?.

Dilangkah inilah Fixed Cost ambil bagian. Volume produksi & sales dihitung dengan cara: membagi “Fixed Cost” dengan “Beban Unit Contribution Margin

Dari step-1 kita sudah peroleh besarnya fixed cost Rp 94,020,833,- dan Beban Unit Contribution Margin Rp 56,931,- maka besarnya quantity yang harus diproduksi dapat kita hitung:

Quantity = Fixed Cost / Weighted Unit CM


Quantity = Rp 94,020,833,- / Rp 56,931
Quantity = 1651 pcs

Sedangkan volume product yang harus diproduksi dan terjual untuk masing-masing productnya kita hitung dengan: mengalikan “Quantity di atas dengan “rate” masing-masing product (rate pada step-3 di atas):

Blouse = 1651 x 25% = 407 pcs
Skirt = 1651 x 29% = 483 pcs
Trouser = 1651 x 46% = 762 pcs
---------------------------------- (+)
Total = 1651 pcs

Mungkin anda ingin bertanya: “Apa iya? dari mana bisa tahu perusahaan akan mencapai break even jika perusahaan sudah menjual product 1651 pcs dengan proporsi seperti di atas?”

Okay, mari kita TEST:

Sebelum kita test, kita alokasikan dahulu “Fixed Cost” ke masing-masing product dengan rate yang sebelum-sebelumnya:

Blouse = 25% x Rp 94,020,833 = Rp 23,143,590
Skirt = 29% x Rp 94,020,833 = Rp 27,483,013
Trouser = 46% x Rp 94,020,833 = Rp 43,394,231
--------------------------------------------------- (+)
Total Fixed Cost = Rp 94,020,833,-

Persamaan Break Even Point:

Revenue (Sales) – Variable Cost – Fixed Cost = 0


[1]. Blouse :
Sales = Rp 80,000 x 407 pcs = Rp 32,521,731,-
Variable Cost = Rp 45,750 x 407 pcs = Rp 18,598,365,-
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Blouse = Rp 13,923,366
Fixed Cost Allocated = Rp 23,143,590
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp (9,220,224)
=========================================

Kenapa minus (loss)?, bukannya seharusnya 0 (nol) atau impas?


Sabar… kita lanjutkan ke item lainnya….

[2]. Skirt :
Sales = Rp 95,000 x 483 pcs = Rp 45,860,723
Variable Cost = Rp 47,500 x 483 pcs = Rp 22,930,361
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Skirt = Rp 22,930,361
Fixed Cost Allocated = Rp 27,483,013
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp (4,552,651)

Nah, ini juga minus (loss)?

[3]. Trouser:
Sales = Rp 150,000 x 762 pcs = Rp 114,334,212
Variable Cost = Rp 75,000 x 762 pcs = Rp 57,167,106
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Trouser = Rp 57,167,106
Fixed Cost Allocated = Rp 43,394,231
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp 13,772,875
=========================================

Karena kita berbicara “PRODUCT MIXED” atau "SALES MIXED" dalam rangka mencapai “TITIK IMPAS (Break Even Point)” maka yang kita lihat adalah Profit & Lost untuk keseluruhan product. Sekarang coba kita jumlahkan “Profit & Lost” dari masing-masing product:

Total Profit & Lost : Blouse + Skirt + Trouser

Total Profit & Lost : [-9,220,224]+[- 4,552,651] + [13,772,875]
------------------------------------------------------------------------
Total Profit & Lost : 0 (nihil)
============================================ ======

Terbukti ! : Profit & Lost –nya nihil, artinya kondisi break even point tercapai!

Jika semua step tadi di-summerized ke dalam satu worksheet sederhana, akan menjadi seperti dibawah ini:



Selanjutnya…. Bagaimana caranya membidik target profit tertentu?

Sayang sekali, space halaman tidak mengijinkan lagi, terapksa harus saya break sampai disini, membidik target profit tertentu akan kita bahas di Break Even Point Analysis – Part 4!.

Mar 25, 2008

Laba Rugi Komersial dan Fiskal

Dalam Pelaporan Keuangan Perusahaan, khususnya “Laporan Laba Rugi”, kita mengenal adanya LAPORAN LABA RUGI KOMERSIAL dan LAPORAN LABA RUGI FISKAL. Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal? Apa saja perbedaannya? Bagaimana caranya membuat Laporan Laba Rugi Fiskal? Bagaimana jika tidak dibedakan? Mungkinkah kedua laporan laba rugi ini dijadikan satu? Bagaimana caranya? Akan kita bahas di artikel ini sebentar lagi.

Artikel ini saya dedikasikan bagi mereka yang “belum sepenuhnya” memahami dan belum bisa membuat laporan laba rugi fiskal. Mudah-mudahan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dan detail. Seperti biasa saya akan memberikan langkah-langkah pembuatannya. Termasuk TRICK “Bagaimana menyatukan Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal ke dalam satu lembar laporan saja”.

Untuk rekan-rekan yang SPT Tahunannya sudah lolos saya ucapkan “Congratulation!”. Sedangkan yang masih berjuang memasukkannya saya ucapkan “Good luck!”. Dan bagi yang masih bingung membuat SPT PPh Badan, mungkin ada baiknya membaca artikel ini :-). Meskipun yang dibahas bukan cara mengisi SPT PPh Badan, tetapi... adalah tidak mungkin bagi anda untuk membuat SPT PPh Badan jika anda belum memahami apa itu Laporan Laba Rugi Fiskal, karena data source SPT PPh Badan adalah Laporan Laba Rugi Fiskal.

Kiranya saya tidak perlu lagi memberikan penjelasan mengenai apa itu Laporan Laba Rugi. Jika kebetulan ada yang belum tahu, saya encourage anda untuk membaca kembali buku “Pengantar Akuntansi Keuangan” atau “Dasar-dasar Akuntansi Keuangan”.


Mengapa Ada Laporan Rugi Laba Komersial dan Fiskal?

Karena adanya perbedaan pengakuan atas pendapatan maupun biaya menurut perusahaan (selaku wajib pajak) dengan pihak Ditjen Pajak (selaku fiskus yang mewakili negara). Sederhananya: ada pendapatan maupun biaya yang diakui sebagai pendapatan maupun biaya oleh perusahaan tetapi tidak diakui oleh Ditjend Pajak.


Mengapa berbeda dan apa saja perbedaaanya?

Bagi perusahaan: semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak , dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak. Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan. Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP.

Perbedaan lainnya adalah perebedaan yang diakibatkan karena bedanya SAAT PENGAKUAN (waktu pengakuan) baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode penyusutan GARIS LURUS (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi kontribusi atas perbedaan tersebut. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU.

Perbedaan-perbedaan tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian agar JUMLAH PAJAK PENGHASILAN BADAN TERHUTANG antara yang dihitung oleh perusahaan dengan menurut Ditjend Pajak bisa sama. Penyesuaian tersebutlah yang dikenal dengan istilah KOREKSI FISKAL.

Ada 2 (dua) macam penyesuaian fiskal, yaitu:

Penyesuaian Fiskal Positif: adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan terhutangnya juga akan meningkat.

Penyesuaian Fiskal Negatif: adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak.

Berikut ini adalah tabel rincian jenis-jenis penyesuaian tersebut:



Bagaimana Cara Membuat Laporan Laba Rugi Fiskal?

Saya akan coba construct satu kasus:

Buku Besar PT. Royal Bali Cemerlang nampak seperti dibawah:



Jika kita susun menjadi Laporan Laba Rugi, kita akan menghasilkan laporan seperti dibawah ini:


Apakah Laporan Laba Rugi diatas benar?

Laporan Komersial iya benar, hanya saja “Pajak Penghasilan” nya belum benar.Bukankah seharusnya ada penyesuaian-penyesuaian?.

Okay, kita bandingkan dengan table rincian penyesuaian fiskal positif dan negative di atas. Menurut table, ada beberapa yang harus disesuaikan, yaitu:

Bunga Jasa Giro” telah dikenakan pajak oleh pihak bank, maka ini dimasukkan sebagai “Pendapatan dikenakan Pajak Final”, sehingga ini tidak seharunya dikenakan pajak lagi. Kita jadikan faktor pengurang Laba Kena Pajak.

Pengambilan Oleh Direktur” ini adalah bukan beban perusahaan. Direktur hanya boleh menerima Gaji dan Dividen saja. Maka kita masukkan ke dalam koreksi fiskal positif (faktor penambah laba kena pajak).

Makan Untuk Pegawai” ini adalah bentuk kenikmatan (natura) yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawai, ini tidak diakui sebagai beban perusahaan. Catatan : saya pribadi kurang setuju dengan anggapan ini, karena pemberian incentive berupa makan, minum atau bentuk kenikmatan lainnya kepada pegawai adalah salah satu usaha perusahaan untuk merangsang semangat kerja pegawai, sangat bisa dihubungkan dengan potensi peningkatan revenue perusahaan. Seharunya tidak alasan untuk menggap ini tidak ada hubungannya dengan aktivitas perusahaan, jelas-jelas ini beban (biaya) yang bisa di set off dengan revenue. Saya pernah argue dengan pihak kantor pajak tentang hal ini. Lebih detailnya saya akan bahas di artikel lain.

Sumbangan” ini bukan beban perusahaan, tidak bisa dihubungkan dengan revenue. Sehingga kita masukkan ini ke dalam kelompok koreksi fiskal positif.

Saya tidak menemukan koreksi fiskal negative dalam contoh kasus ini.sehingga nanti koreksi fiskal negatifnya akan 0 (nol).

Setelah unsur koreksi fiskal kita masukkan, maka Laporan Laba Rugi akan menjadi seperti dibawah ini:


Apakah kali ini sudah benar?

Laporan Fiskal Iya benar. Bagaimana dengan laporan komersialnya?, apakah laba setelah pajak di atas bisa kita masukkan ke dalam neraca (Laba Tahun Berjalan)?.

Coba pikirkan baik-baik……………………………………………………………………
………………………………….. yakin?.

NO…. big no!

Bukankah di neraca nanti laba ini akan di off set dengan mutasi rekening-rekening di kelompok asset (aktiva)?. Sudah ada clue?.....belum?

Okay, diakui atau tidak diakui semua koreksi fiskal tersebut (bunga jasa giro, pengambilan direktur, makan untuk pegawai, sumbangan) adalah berpengaruh langsung terhadap posisi (saldo) kas. Jika semua itu tidak diakui, sementara di sisi lainnya, laba kita paksakan masuk ke neraca, maka sudah pasti NERACA TIDAK AKAN BALANCE!.

Lalu, bagaimana?

Kita harus kembalikan semua koreksi tersebut.

Dikembalikan?, berarti labanya menjadi salah lagi?.

Maksud saya, semua unsure tadi tetap kita koreksi, setelah kita peroleh “laba fiskal setelah pajak”, baru kita kembalikan semua koreksi fiskal tersbut.

Caranya?

Perhatikan Laporan Laba Rugi dibawah ini:




Bahkan kita berhasil memperoleh Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal dalam satu lembar laporan saja, anda tidak perlu lagi membuat laporan laba rugi dalam 2 (versi) :-)

Sekarang Laba setelah pajaknya sudah bisa di masukkan ke dalam neraca. Dan pasti balance. Guaranteed! :-)

Selamat mencoba!

Mar 22, 2008

Fluktuasi Nilai Tukar Uang | 2 Sudut Pandang Berbeda

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, lain kepala dan back ground lain pula pemikirannya. Termasuk dalam menyikapi pengaruh fluktuasi nilai tukar mata uang. Apakah perlu dilaporkan atau tidak?. Bagaimana seorang Finance Director dan seorang Controller menyikapi hal ini?

Sebuah perusahaan multi nasional sebut saja “AFT Inc” melakukan ekspansi usaha sampai ke Malaysia, yaitu dengan mendirikan anak perusahaan kecil di sana. Saat ini 1 Ringgit Malaysia (RM) = Rp 2,906,- Sedangkan saat anak perusahaan di Malaysia di dirikan (Tahun 2006) 1 Ringgit Malaysia sama dengan Rp 2,500,- saat AFT Inc mengeluarkan Rp 1,500,000,000 untuk investasi awal (yang jika di konversikan sama dengan RM 600,000). Sepertiga-nya (Rp 500,000,000) dipergunakan untuk membeli tanah dan bangunan disana, sepertiga yang lainnya lagi dipergunakan untuk membeli persediaan barang, sedangkan sepertiga yang terakhir dipergunakan untuk pembelian saham dan surat berharag lainnya di pasar modal malaysia sana. Belakangan ini, mata uang RM semakin menguat, dan rupiah terus-menerus terdepresiasi. Hari ini 1 RM = Rp 2906. Sehingga nilai asset termasuk tanah dan bangunan yang saat di beli hanya Rp 500,000,000 (atau setara RM 200,000 saat itu) kini nilainya menjadi: RM 200,000 x 2906 = Rp 581,186,000. Cukup significant perubahannya bukan?, demikian juga 2/3 lainnya.

Bagaimana AFT Inc’s Top Finance Officer menyikapi fenomena ini? Berikut adalah obrolan (lebih tepat disebut sebagai perdebatan) antara Finance Director dengan Controller AFT Inc:


Controller: Tidak ada yang berubah. Cost kita tetap Rp 500,000,000 untuk masing-masing item investasi, dengan kata lain total cost kita tetap Rp 1,5 millyard. Itulah yang sudah kita keluarkan. Accounting menggunakan “historical cost”. Jadi tidak ada yang perlu kita lakukan atas perubahan nilai tukar tersebut.

Finance Director: Ya, tetapi rate yang dipergunakan dahulu (1 RM= Rp 2500) sudah tidak ada artinya lagi. Apakah kita akan bisa menutup mata atas perubahan nilai yang terjadi saat ini? Cost kita tetap Rp 1.5 millyard, anda benar. Tetapi bagaimanapun juga sekarang 1 RM = Rp 2,906,- jadi nilai yang akan kita laporkan seharusnya berubah juga.

Controller: Perubahan atas “nilai tukar mata uang (foreign exchange rate)” hanya akan mempengaruhi kita, HANYA apabila kita menarik dana kita dari Malaysia. Dan kita tidak ada rencana untuk menariknya untuk beberapa tahun ke depan ini bukan?. Nilai tukar mungkin akan mengalami perubahan puluhan bahkan ratusan kali sebelum dana kita tarik dari Malaysia. Kita harus tetap berpegang pada historical cost Rp 1.5 millyard tersebut. Itulah kenyataan cost kita. Sederhana bukan?

Finance Director: Maksud anda, untuk 20 tahun ke depan kita akan mentranslasi laporan keuangan kita untuk pihak eksternal menggunakan nilai tukar yang sudah tidak berlaku lag selama bertahun-tahun? Itu tidak masuk akal !!! Saya benar-benar mengalami masalah menggunakan nilai tukar mata uang kuno seperti itu untuk tujuan investasi dan persediaan (catatan: ingat awalnya investasi 1.5 millyard dibagi tiga, 2/3-nya dipergunakan untuk investasi dan persediaan). Dan anda tahu ketika barang persediaan disana terjual itu akan langsung di konversikan ke dalam uang tunai yang nialinya jelas-jelas sudah tidak ada hubungannya dengan nilai tukar aslinya waktu investasi dilakukan, melainkan nilai tukar yang sekarang.

Controller: Wah, pak diretur, maaf. Kalau begitu anda salah memahami pengaruh fluktuasi nilai tukar mata uang. Ayolah pak, perubahan itu tidak akan berpengaruh, 1 RM tetap 1 RM bukan?. Baru akan berpengaruh secara real apabila terjadi pertukaran yang real. Apabila telah terjadi realisasi pertukaran yang sungguh-sungguh (misal: barang persediaan dijual ke Indonesia, atau ada asset/dana yang dipindahkan dari Malaysia ke Indonesia) disana kita akan akui adanya perubahan nilai, dan apabila ada selisih akan kita akui sebagai selisih keuntungan atau kerugian kurs.

Finance Director: Saya masih berpikir, bahwa tidak ada gunanya kita membuat laporan keuangan yang nyata-nyata menggunakan alat ukur nilai tukar yang sudah tidak berlaku lagi. Saya tidak peduli kapan realisasi pertukaran akan terjadi.

Controller: Anda harus berpegang pada historical cost, percayalah. Nilai tukar hari ini sama sekali tidak penting KECUALI kita benar-benar menukarkan RM dengan Rupiah!

Mar 18, 2008

Break Even Point Analysis – Part 2

Ini adalah kelanjutan dari posting saya sebelumnya (Break Even Point Analysis – Part 1), di Break Even Point Analysis – Part 2 ini, akan saya bahas mengenai: Formulasi Break Even Point yang Lebih Dikembangkan, Determinasi Fixed Cost dan Variable Cost, Berhadapan dengan Mixed Cost. Aplikasi Break Even Point Analysis pada kasus yang Lebih Complex, BEP untuk “Product Mixed”, Return Of Capital.

Saya melanjutkan kembali explorasi kecil-kecilan saya….


Formulasi Break Even Point Yang Dikembangkan

Untuk menjawab tantangan business yang semakin berkembang, kita tidak bisa berpatokan pada satu formualsi saja, formula harus kita dig lebih jauh lagi. Dari logika diawal bahwa break even point adalah titik dimana perusahaan belum memperoleh keuntungan tetapi juga tidak dalam kondisi rugi, maka Break Even Point dapat kita formulasikan secara sederhana sebagai berikut:

BEP -> TR = TC
TR = Total Revenue, TC = Total Cost

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan Sales, Cost, Volume, Profit termasuk waktunya, kita coba kembangkan formula sederhana di atas sehingga menjadi lebih flexible dan bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda-beda, yaitu dengan membentuk persamaan linear sederhana seperti dibawah ini:

TR = TC
TR – TC = 0

Karena TR adalah untuk “Total Revenue” maka TR dapat kita turunkan menjadi :

TR = Unit Price x Qty

Sedangkan TC stand for “Total Cost”, yang mana kita semua tahu bahwa dalam Cost Accounting, cost itu ada 2 macamnya, yaitu: “Variable Cost” dan “Fixed Cost”, maka turunan dari TC adalah:

TC = Variable Cost + Fixed Cost

Dari formula di atas kita turunkan lagi menjadi:

TC = [Qty x Unit Variable Cost] + Fixed Cost

Saya rasa sekarang semua elemen yang ada sudah habis kita turunkan, selanjutnya kita akan membuat persamaan linear secara penuh untuk kondisi “Break Even Point”:

TR - TC = 0
[Qty x Unit Price] - [(Qty x Unit VC) + Fixed Cost] = 0, atau
[Qty x Unit Price] - [Qty x Unit VC] - Fixed Cost = 0
Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost

Nah, ini dia. Sekarang kita sudah memiliki persamaan linear yang sudah cukup flexible. Dengan berbekal persamaan ini, sekarang kita bisa menjawab banyak persoalan (pertanyaan), misalnya:

Pertanyaan: Jika perusahaan berproduksi dalam jumlah tertentu, agar perusahaan bisa mencapai break even point, berapakah unit price yang harus dipatok?.

* Target kita adalah “Unit Price”, maka formulanya:

Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost
Unit Price = [Fixed Cost / Qty] + Unit Variable Cost

Pertanyaan: Jika perusahaan menyadari bahwa harga paling bersaing untuk produknya adalah Rp tertentu, maka berapa pcs kah perusahaan harus berproduksi agar mencapai “break even point”?

* Target kita adalah “Qty”, maka formulanya:

Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost
Qty = Fixed Cost / [Unit Price - Unit Variable Cost]

Dan seterusnya….. (silahkan dikembangkan)


Determinasi Elemen-Elemen Break Even Point

Okay kita sudah mempunya formula, yang elemen-elemenya terdiri: Revenue (R), Quantity (Qty), Unit Price, Variable Cost, Unit Variable Cost, dan Fixed Cost.

Misi kita selanjutnya adalah mendeterminasi (menentukan?) masing-masing elemen tersebut. Here they are:

Revenue (R): adalah pendapatan, yang dalam perusahaan manufactur biasanya didominasi oleh Sales, yang mana Sales adalah jumlah terjual (Qty=Quantity) dikalikan dengan unit price product yang akan terjual.

Quantity (Qty): adalah jumlah barang yang akan dijual, yang dalam perusahaan manufactur tentunya diproduksi terlebih dahulu.

Unit Price: adalah harga per unit dari barang yang akan dijual

Variable Cost: adalah cost yang timbul akibat diproduksinya suatu product (barang), artinya segala yang cost yang terjadi untuk memproduksi suatu barang. Seperti sebutannya “Variable Cost”, akan berubah-ubah mengikuti jumlah product yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah yang diproduksi semakin bedar juga variable cost-nya, begitu juga sebaliknya. Jika kita lihat pada Laporan Laba rugi nantinya, variable cost akan tergolong ke dalam kelompok “Cost of Good Sales”, yang pada perusahaan manufacur umumnya terdiri dari: Bahan Baku (Raw Material), Bahan Penolong, Cost Tenaga Kerja Langsung (Direct labor Cost) dan Ovear Head Cost yang biasanya terdiri dari penyusutan Gedung Pabrik, Penyusutan Mesin (Machineries) yang menggunakan unit production output, Maintenance, Listrik (electricity), Pengiriman (Delivery & Services), dll.

Unit Variable Cost: adalah besarnya variable cost yang ditimbulkan untuk membuat satu unit produk tertentu, yang besarnya diperoleh dengan cara membagi total variable cost (Variable Cost) dengan jumlah product yang dibuat (qty).

Fixed Cost: adalah cost yang akan terjadi akibat penggunaan sumber daya tertentu yang penggunaannya tanpa dipengaruhi oleh banyak sedikitnya produk yang diproduksi. Dengan kata lain: berapapun jumlah product yang dibuat, fixed cost yang akan dibuat, costnya relative sama, bahkan tidak berproduksi sekalipun cost ini akan tetap terjadi. Seperti sebutannya, fixed cost sifatnya relative stabil, tidak dipengaruhi oleh production output. Adapun jenis-jenis cost yang terjadi biasanya yang ada pada kelompok Biaya Operasional (Operating Expenses: Payroll, Office Supplies), Lease Hold (Hak Sewa), termasuk penyusutan-penyusutan dan amortisasi yang menggunakan metode garis lurus.


Aplikasi Break Even Point Analysis Pada Kasus

Kita coba construct satu kasus yang lebih complex:

Kesuksesan PT. Royal Bali Cemerlang dalam memproduksi produk kaos kaki, membuat board member berencana akan melakukan expansi usaha, yaitu dengan membuat pabrik pakaian jadi yang akan memproduksi “women apparels” (Blouses, Skirts, Trousers & Short Pants). Untuk maksud tersebut PT. Royal Bali Cemerlang akan membangun pabrik yang akan menggunakan badan usaha sendiri yang akan diberi nama PT. Royal Bali Apparel, berikut adalah Investasi dan budget yang akan dialokasikan:




Di bulan pertama operasi, PT. Royal Bali Apparel berencana akan mulai membuat jenis product “Blouses”. Perusahaan belum tahu berapa volume (Qty) blouse yang akan diproduksi dan berapa unit price yang akan di set untuk 1 piece blouse. Dari hasil research yang dilakukan, diketahui bahwa harga pasaran 1 pc blouse kurang lebih Rp 60,000,-/pc.

Dibawah ini adalah estimated consumption yang diperkirakan oleh Production Dept untuk 1 piece blouse:



On other hand, Marketing Dept merekomendasikan: agar produk blouse yang akan di launched mendapat sambutan yang significant dari pasar, PT. Royal Bali Apparel hendaknya mematok harga dibawah harga pasaran blouse saat ini (dibawah Rp 60,000/pc)

Pak Lie (Financial Controller) PT. Royal Bali Cemerlang yang sekaligus ditugaskan sebagai CFO (Chief Financial Officer) di PT. Royal Bali Apparel mencoba mengira-ngira...

Jika kapasitas produksi adalah 2000 pcs blouse per bulan:

[1]. Berapa unit price yang harus direkomendasikan oleh Pak Lie agar perusahaan bisa mencapai break even point dalam waktu 2 bulan?

[2]. Apakah target break even point dalam 2 bulan realistic? Apa langkah selanjutnya dari Pak Lie?.


Kita ikuti langkah-langkah perhitungan yang dibuat oleh Pak Lie

1st Step: Determinasi Fixed Cost

Karena Pak Lie mematok lamanya break even point selama 2 bulan saja, maka: Semua monthly expense dikalikan 2 (dua), sehingga Pak Lie memperoleh Fixed Cost seperti dibawah ini:



2nd Step: Determinasi Unit Variable Cost

Pak lie menggunakan estimated consumption yang dibuat oleh Production Dept, yaitu sebesar Rp 45,750/pc.

3rd Step: Penghitungan Break Even Point dengan Target “Unit Price”

Masih ingat persamaan linear yang kita buat sebelumnya?

Break Even Point -> TR=TC
TR-TC=0
TR - TC = 0
[Qty x Unit Price] - [(Qty x Unit VC) + Fixed Cost] = 0, atau
[Qty x Unit Price] - [Qty x Unit VC] - Fixed Cost = 0

Karena targetnya adalah “Unit Price”, maka:

Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost

Unit Price = [Fixed Cost / Qty] + Unit Variable Cost

Setelah angka-angka dimasukkan, maka Pak Lie memperoleh perhitungan seperti di bawah ini:





Ohh, no!, that is beyond the recommendation!. Harganya up-sky, mana mampu menjualnya.

Jangan panik, coba kita periksa kembali, langkah-langkah yang dibuat oleh pak lie, apakah ada yang salah:

Unit Variable cost: sepertinya sudah benar

Fixed Cost: Pak lie membebankan 2 bulan payroll, 2 bulan office supplies dan 2 bulan telephone expense, kelihatannya sudah benar juga. Tetapi coba kita lihat penyusutan dan amortisasi yang dibebankan, kelihatannya ada yang aneh. Semuanya dibebankan sekaligus. Mana mungkin company set-up yang umur ekonomisnya 30 tahun dibebankan dalam 2 bulan, mana mungkin leasehold yang umur ekonomisnya 5 tahun dibebankan 2 bulan.

Sekarang coba kita ulang perhitungannya, kita repeat saja step-step yang dilakukan oleh Pak lie di atas, hanya saja kita alokasikan beban penyusutan sesuai dengan umur ekonomisnya, sehingga kita memperoleh Fixed cost seperti dibawah ini:


Unit Variable Cost sudah benar, jadi tetap Rp 45,750/pc

Selanjutnya kita hitung Break Even Point dengan target “Unit Price” dengan cara memasukkan semua elemen yang ada ke dalam formula yang sama seperti yang di pakai oleh Pak lie :

Unit Price = [Fixed Cost / Qty] + Unit Variable Cost

Maka kita memperoleh:



Aha!, ini lebih realtistic, ini yang benar!.

Dengan kapasitas produksi 2000 sebulan dan dengan Variable cost yang ada, serta fixed cost yang dialokasikan sesuai dengan umur ekonomisnya, PT. Royal Bali Apparel harus menjual product blousenya seharga Rp 73,698,-/pc agar mencapai break even dalam waktu dua bulan.

Catatan : Fixed cost yang berasal dari aktiva tetap hendaknya dialokasikan terlebih dahulu sesuai dengan umur ekonomisnya (sesuai dengan jadwal penyusutannya). Berarti semua pembelian aktiva belum tercover, lalu apakah itu sudah bisa dikatakan break even? Jangan menjadi bingung!, bedakan Break Even Point dengan Return of Capital, untuk pengembalian semua investasi aktiva tetap tidak menggunakan break even point analysis, tetapi menggunakan “Return Of Capital Analysis” nanti kita bahas di akhir artikel ini.

Wait… tetapi, kelihatannya target harga dibawah Rp 60,000 yang direkomendasikan oleh marketing dept tidak tercapai, harganya masih lebih tinggi dari harga pasar. Bagaimana?.

Disini lah pentingnya, mengapa pemahaman formula dan pengembangannya diperlukan. Ada 2 kemungkinan yang bisa ditempuh oleh Pak Lie:

[1]. Waktu 2 bulan untuk menapai break even adalah tidak realistic untuk bisa mematok harga dibawah Rp 60,000/pc, maka pak lie harus mengalah dalam target waktu. Jadikan waktu yang lebih realistic sebagai target; atau

[2]. Jika waktu 2 bulan tidak boleh ditawar, maka variable cost harus ditekan supaya lebih effisien lagi, dengan cara menjadikan unit variable cost sebagai target.


Caranya:

[1]. Jika Unit price kita patok Rp 59,000,- maka:

Break Even Point -> TR=TC
TR-TC=0
TR - TC = 0
[Qty x Unit Price] - [(Qty x Unit VC) + Fixed Cost] = 0, atau
[Qty x Unit Price] - [Qty x Unit VC] - Fixed Cost = 0

Karena target kita adalah “Waktu” sementara kita tahu kapasitas produksi adalah 2000 pcs per bulan, maka yang kita jadikan target adalah Quantity:

Qty = Fixed Cost / [Unit Price - Unit Variable Cost]
Qty = 111,791,667 : [ 59,000 - 45,750]
Qty = 111,791,667 : 13,250
Qty = 8437 pcs

Dengan unit price Rp 59,000,- maka perusahaan akan mencapai break even pada saat volume produksi mencapai 8437 pcs blouse. Karena kapasitas produksi adalah 2000 pcs per bulan, maka perusahaan akan mencapai break even setelah berproduksi selama 8437:2000 = 4.22 bulan (127 hari).

[2]. Jika target waktu 2 bulan tidak bisa ditawar, maka jadikan Unit Variable Cost sebagai target:

[Qty x Unit Price] - [Qty x Unit VC] - Fixed Cost = 0
Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost
[Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost/Qty
- Unit Variable Cost = [Fixed Cost/Qty] - Unit Price
(-1) (- Unit Variable Cost) = (-1)[Fixed Cost/Qty] – Unit Price
Unit Variable Cost = (-1) [111,791,667/4000] – 59,000
Unit Variable Cost = (-1) [ 27,948 – 59,000]
Unit Variable Cost = (-1) [ -31,052 ]
Unit Variable Cost = 31,052

Artinya : dengan unit price Rp 59,000, agar perusahaan mencapai break even dalam waktu 2 bulan (berproduksi 4000 pcs), maka perusahaan hanya boleh mengalokasikan Rp 31,052 variable cost. Yang jika kita alokasikan ke masing-masing itemnya. Perhatikan kolom “adjusted allocation” dibawah ini:


Sampai ditahap ini, sebagian pertanyaan saya sudah terjawab, tetapi masih menyisakan beberapa pertanyaan:

[-]. Apakah Break Even Point ini bisa dipergunakan untuk keperluan lain?
[-]. Bagaimana jika PT. Royal Bali Apparel memproduksi produk lain selain “blouse” yang tentunya memiliki Unit variable Cost maupun unit price yang berbeda-beda juga?
[-]. Apa bedanya Break Even Point dengan Return of Capital (ROC) analysis?

Semua pertanyaan itu akan kita explore di Break Even Point Analysis – Part 3

Sampai ketemu.
Putra
Accounting (Akuntansi), Financial (Keuangan) & Taxation (Perpajakan). Didedikasikan bagi mereka yang membutuhkan artikel, tips, Case study, spreadsheet & tools yang bersifat aplikatif.


K A T E G O R I

Account Receivable (4) Accounting (93) Accounting Case Study (15) Accounting Certification (1) Accounting Contest (1) Accounting For Manager (4) Accounting Software (2) Acquisition (5) Advance accounting (6) Aktiva Tetap (16) Akuisisi (5) Akuntansi Biaya (3) Akuntansi Dasar (2) Akuntansi Management (4) Akuntansi Pajak (9) Akuntansi Translasi (2) Announcement (6) archiving (1) ARTICLES (4) ARTIKEL (91) Audit Kinerja (1) Auditing (3) Balance sheet (1) Bank (1) Basic Accounting (1) Bea Cukai (4) Bea Masuk (7) Calculator (2) Capital (1) Career (2) Cash (1) Cash Flow (3) Certification (1) COGS (11) Contest (1) Cost (18) Cost Analysis (12) CPA (2) CPA EXAM (1) Credit (1) Credit Policy (1) Current Asset (1) Data (1) Discount (1) Diskon (1) Duty (1) Expense (4) Export - Import (15) FASB (1) Finance (8) FINANCIAL (16) Financial Control (10) Foreign Exchange Rate (1) Form (2) FOTO (1) FRAUD (2) Free Download (9) Freebies (6) GAAP (1) GAJI (3) Garansi (1) Gift (1) Goodwill (1) Hotel (1) IFRS (1) Import (5) Import Duty (7) International Accounting (1) Investasi (1) Job Vacant (1) Kas (6) Kas Bank (3) Kas Kecil (1) Kasus Akuntansi (3) Kasus Legal (2) Kasus Pajak (6) Keuangan (3) Komentar (1) Konsolidasi (4) Laba-Rugi (1) Lain-lain (15) LANDING COST (1) Laporan Arus Kas (2) Laporan Keuangan (9) Lean Accounting (1) Lean Concept (1) Lean Manufacturing (1) Legal (1) Lowongan Kerja Accounting (2) MA Accounting (3) Management Accounting (5) Merger (4) Miscellaneous (2) Modal (1) neraca (1) PAJAK (24) payroll (1) Pembelian (2) Pemberitahuan (3) Pendapatan (2) Pengakuan Pendapatan (1) Pengarsipan (1) Pengendalian (6) Pengendalian Keuangan (15) PENGGELAPAN (1) Penjualan (1) Perlakuan akuntansi (2) Petty Cash (1) PHOTO (1) Piutang (1) PPH PASAL 21 (11) PPh Pasal 22 (3) PPh Pasal 26 (2) PPn (2) PPn Import (5) Professi Akuntan (1) Profit-Lost (1) PURCHASE (2) Quiz (1) Rabat (1) Rebate (1) Retur (1) Return (1) Revenue (4) Review (1) Sales (2) SERIE ARTIKEL (1) Sertifikasi (1) Shareholder (1) Shipping Agent (1) Shipping Charge (1) Soal dan Jawaban CPA (1) SPI (1) Spreadsheet Accounting (5) Spreadsheet Gratis (4) system pengendalian (1) system pengendalian gaji (1) Taxation (18) Template (2) Tip n Tricks (4) TIPS AND TRICKS (38) Tools (8) Tutup Buku (1) Ujian CPA (1) UPAH (3) update situs (2) USAP (2) Utilities (1) Video Tutor (1) warranty (1) What Is New (7)

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Mengapa perlu men-subscribe ?
Dengan men-subscribe, anda akan menerima pemberitahuan setiap kali ada update terbaru (artikel, tips, free download template, files, dll) dari ACCOUNTING, FINANCE & TAXATION langsung di INBOX e-mail anda.
Bagaimana caranya mensubscribe ?=> Ketik e-mail address anda (pada kolom yang disediakan diatas)=> Klik tombol "subscribe"=> Setelah men-klik tombol subscribe, akan muncul window (halaman) baru=> Pada halaman baru tersebut, masukkan kode validasi yang disediakan=> Klik tombol "subscribe"=> Masuk ke inbox email anda, lalu klik link verifikasi yang disediakan=> Selesai